Pergub DKI 38/2019 Munculkan Polemik, Ini Kata Pengamat
Berita

Pergub DKI 38/2019 Munculkan Polemik, Ini Kata Pengamat

Kebijakan yang diterbitkan Anies sebagai bentuk langkah maju dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan kontekstual.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, berdasarkan Pergub 38/2019, wajib pajak orang pribadi yang telah memperoleh pembebasan PBB-P2 untuk tahun pajak sampai dengan tahun 2018 sebelum berlakunya Pergub ini (1 Januari 2019), tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2.

 

Pembebasan PBB-P2 ini, lanjut Yustinus, memang berlaku sampai dengan 31 Desember 2019. Artinya wajib pajak yang memenuhi syarat tetap berhak memperoleh pembebasan PBB-P2 sesuai Pergub Nomor 259/2015 sebagaimana diubah dengan Pergub Nomor 38/2019. Dengan demikian wajib pajak yang memenuhi syarat tidak perlu khawatir karena tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2 sampai 31 Desember 2019.

 

Yustinus mengigatkan bahwa ada hal positif dan patut diapresiasi dari kebijakan Pemprov DKI ini. Apa itu? Yakni pengecualian bagi wajib pajak yang mengalami perubahan data wajib pajak karena peralihan hak kepemilikan atau penguasaan atau pemanfaatan kepada wajib pajak badan.

 

Hal tersebut harus dikecualikan karena sudah tidak sesuai dengan kondisi dan alasan pemberian pembebasan PBB-P2 yaitu meringankan beban hidup wajib pajak orang pribadi. Ketidaksesuaian ini mengurangi potensi penerimaan daerah yang akan digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan, dan fasilitas dinikmati pihak yang seharusnya tidak menikmati.

 

“Mengingat Pergub Nomor 259/2015 tidak dicabut dan hanya diubah dan pembebasan tetap diberikan sampai dengan 31 Desember 2019, besar kemungkinan kebijakan ini akan disempurnakan kemudian menunggu rampungnya pemetaan dan dan pendataan potensi pajak yang lebih konprehensif (fiscal cadaster),” tambahnya.

 

(Baca Juga: UMKM Butuh Perlindungan Hukum dalam Menghadapi MEA 2015)

 

Yustinus mengaku mendukung kebijakan ini. Ia berharap Gubernur DKI dapat mempertahankan kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan menengah-bawah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan hasil pemetaan.

 

Hal ini juga sejalan dengan UU PBB dan UU PDRD, yang menyebutkan Gubernur atau Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan jika kondisi subyektif (wajib pajak tidak mampu membayar, termasuk guru, buruh, pensiunan, veteran, dll) dan kondisi objektif (objek pajak mengalami bencana alam, gagal panen, dll). Selama ini fasilitas pengurangan ini belum cukup jelas, subyektif, dan inkonsisten diterapkan oleh Pemerintah Daerah.

Tags:

Berita Terkait