Perjuangkan Hak Asuh Anak, Ibu-ibu Ini 'Mengadukan' Nasibnya ke MK
Terbaru

Perjuangkan Hak Asuh Anak, Ibu-ibu Ini 'Mengadukan' Nasibnya ke MK

Lewat pengujian Pasal 330 ayat (1) KUHP. Mereka meminta MK menyatakan kata 'Barangsiapa' dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak'.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Tsania Marwa saat memberi kesaksian dalam sidang pengujian Pasal 330 ayat (1) KUHP di ruang sidang pleno MK, Senin (18/3/2024). Foto: Humas MK
Tsania Marwa saat memberi kesaksian dalam sidang pengujian Pasal 330 ayat (1) KUHP di ruang sidang pleno MK, Senin (18/3/2024). Foto: Humas MK

Demi memperjuangkan hak asuh anak, lima orang ibu-ibu yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani tengah mengadukan nasibnya ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka melayangkan pengujian Pasal 330 ayat (1) UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pasal penculikan anak, khususnya meminta tafsir kata “barangsiapa”.     

Pasal 330 ayat (1) KUHP berbunyi, “Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Kata “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP itu yang dipermasalahkan para pemohon yang sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak sebagai subjek hukum. 

Pasalnya, kelima ibu yang menjadi pemohon itu mempunyai pengalaman yang sama yakni melalui proses perceraian dan telah diputuskan memegang hak asuh anak oleh pihak pengadilan. Namun, hak tersebut tidak kunjung terealisasi lantaran mantan suaminya mengambil anak secara paksa dan menyembunyikannya dari sang ibu. Ternyata, kejadian serupa juga dialami seorang selebritis tanah air, Tsania Marwa, yang kebetulan dihadirkan menjadi saksi dalam persidangan perkara ini.

“Saya telah bercerai dan (diputuskan, red) memegang hak asuh anak. Pada tanggal 29 April 2021, saya dan Pengadilan Agama Cibinong melakukan eksekusi putusan hak asuh anak yang sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, Pengadilan Agama Cibinong menyatakan eksekusi tersebut gagal karena pihak termohon eksekusi tidak mau mengikuti putusan hak asuh anak dan mempersulit proses eksekusi tersebut,” ungkap Tsania dalam persidangan seperti dikutip dari laman resmi MK, Senin (18/3/2024) kemarin.

Mantan suaminya menutup akses Tsania terhadap kedua anaknya. Bahkan, sampai sekarang, sudah 7 tahun lamanya ia terpisah dengan sang buah hatinya. Pengalaman ini membuatnya merasa dirugikan sebab tidak sedikit biaya yang digelontorkan selama menjalani proses hukum, seperti dalam hal pendampingan hukum, biaya-biaya leges, maupun biaya konsultasi lainnya.

Sepanjang proses itu, Tsania merasa tidak memperoleh keadilan hingga mendorongnya berupaya mencari pertolongan dan konsultasi ke salah satu penyidik di Bareskrim Polri Unit PPA sehubungan dengan peristiwa ini. Ia mempertanyakan posibilitas penerapan pasal penculikan anak dalam Pasal 330 KUHP terhadap mantan suaminya. Hal itu dijawab penyidik bahwa jika yang membawa kabur salah satu orang tua, baik pemegang hak asuh maupun non pemegang hak asuh, tidak bisa diterapkan Pasal 330 ayat (1)) KUHP karena masih berstatus orang tua.

“Kesedihan yang luar biasa, saya merasa tidak mendapat keadilan dari putusan hak asuh berkekuatan hukum tetap, dan yang paling utama saya sebagai ibu yang mencintai kedua anak tidak mengetahui bagaimana perkembangan mereka. Tentunya, mereka kehilangan sosok ibu kandung yang dari awal hamil saya jaga dan saya mencintai sepenuh jiwa hingga akhir hayat saya,” ungkapnya.

Dia amat menyayangkan pasal yang semula diharapkan bisa menjadi solusi dari kegundahan dan masalah yang dialaminya ternyata justru menemui jalan buntu. “Saya saat itu sungguh dalam kondisi bingung mencari tempat untuk bisa mendapat keadilan di negara ini. Banyak masukan dari pengacara bahwa Pasal 330 KUHP bisa diimplementasikan. Namun faktanya justru tidak dapat diterapkan oleh aparat penegak hukum. Di mana rasa keadilan ini?”

Untuk diketahui, para pemohon dalam petitumnya meminta MK agar menyatakan kata “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732) yang berlaku berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak”.

Tags:

Berita Terkait