Perlindungan Hukum Korban Bencana Banjir Belum Maksimal
Berita

Perlindungan Hukum Korban Bencana Banjir Belum Maksimal

Korporasi dapat berperan membantu rehabilitasi. Sebaliknya, tanggung jawab korporasi dapat berubah menjadi tanggung pidana.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit

Korporasi yang ada di sekitar juga pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab penanganan korban bencana. Apalagi jika aktivitas korporasi dipandang sebagai salah satu faktor pemicu banjir, misalnya akibat deforestasi. Jika terbukti aktivitas korporasi berkontribusi langsung pada bencana yang terjadi, maka tanggung jawab sosial dapat berubah menjadi tanggung jawab hukum.

Dalam hal tanggung jawab sosial korporasi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Septa Chandra, menunjuk ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Berdasarkan ketentuan ini ada dua kriteria sektor kegiatan yang diwajibkan menjalankan tanggung jawab sosial. Pertama, perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam, yakni perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Kedua, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Maksudnya adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. “Ketentuan Pasal 74 UUPT bertujuan untuk tetap menciptakan hhubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat,” papar Septa.

Septa juga berpendapat bahwa merujuk pada Pasal 74 UUPT pada dasarnya dapat diterapkan konsep restitusi. Jika perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam terbukti menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan, maka tanggung jawab tak hanya memulihkan keadaan lingkungan, tetapi juga tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar.

Berkaitan dengan tanggung jawab korporasi, sebenarnya sudah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Cuma, Septa melihat bahwa regulasi yang ada saat ini belum memberikan perhatian yang serius untuk pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban secara langsung dari kejahatan korporasi. Baik berupa pembayaran ganti kerugian atas kejahatan yang dilakukan korporasi (restitusi) maupun dalam bentuk kompensasi lain terhadap dampak yang dialami oleh korban.

Tags:

Berita Terkait