Perlu Redefinisi Ulang Makna Kepentingan Publik Terkait Pailit/PKPU BUMN dalam UU Kepailitan
Utama

Perlu Redefinisi Ulang Makna Kepentingan Publik Terkait Pailit/PKPU BUMN dalam UU Kepailitan

UU Kepailitan tidak merumuskan secara detail klasifikasi kepentingan publik dalam hal BUMN dimohonkan pailit/PKPU. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

“Bahwa penjelasan tidak bisa dijadikan dasar atau menimbulkan norma baru. Jadi akan kembali ke batang tubuh. Sebenarnya ada beberapa penjelasan yang tidak sinkron dengan batang tubuh, bukan hanya pasal 5 ayat (2) saja,” kata Hadi Subhan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh BPHN, Rabu (20/3) lalu.

Dengan situasi tersebut, maka tak heran jika putusan pailit/PKPU terhadap BUMN menjadi tidak seragam. Apalagi UU Kepailitan dan PKPU tidak menyebutkan secara spesifik kriteria BUMN yang menjalankan peran ‘kepentingan publik’. Maka demi memberikan kepastian hukum, Hadi Subhan menilai perlu dilakukan defenisi ulang terhadap maksud ‘kepentingan publik’ tersebut.

Jika melihat pada bentuk dan kegiatan BUMN persero yang ada di Indonesia, beberapa perusahaan pelat merah menjalankan dua fungsi secara bersamaan yakni fungsi sebagai public services dan juga melakukan aktivitas bisnis, seperti PT Jasa Marga, PT Pertamina dan lain sebagainya. Mengingat UU Kepailitan sendiri yang tidak memberikan klasifikasi ‘kepentingan publik’ secara utuh, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah BUMN Persero yang memiliki kegiatan semacam itu dapat dipailitkan/PKPU.

Demi memberikan kepastian hukum terkait pailit/PKPU BUMN, Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun, sepakat jika maksud ‘kepentingan publik’ perlu dibicarakan secara serius dan revisi UU Kepailitan menjadi mendesak. Menurutnya, pailit/PKPU yang dimohonkan kepada BUMN adalah terkait aktivitas bisnis, bukan public services.

“Apakah yang memikirkan kepentingan umum hanya negara? Ini perlu serius dibicarakan. Apakah mengelola jalan tol itu kepentingan publik apa bisnis? Kepentingan umum perlu didefinisikan ulang dalam kepentingan umum yang kekinian, tidak boleh menggunakan kata-kata yang menggantung. Makanya terjadi inkonsistensi terhadap kebijakan,” kata Misbakhun dalam acara yang sama.

Terkait posisi revisi UU Kepailitan, Misbakhun menyatakan perlu dipastikan apakah naskah akademik sudah tersedia saat UU Kepailitan masuk ke dalam prolegnas. Dan perlu diperhatikan pula apakah amandemen UU Kepailitan sudah dikawal oleh panja, dan masuk dalam prolegnas jangka panjang atau tidak.

Selain itu, politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) ini juga mengkritik posisi negara saat terjadi kepailitan/PKPU terhadap BUMN. Dia menilai negara kerap tidak hadir dan bertanggung jawab sebagai pemegang saham, bahkan terkesan memiliki hak eksklusif dibanding dengan kreditor lain. 

Tags:

Berita Terkait