Perma Mengadili Perkara Perempuan Perlu Didukung Aturan Lain
Utama

Perma Mengadili Perkara Perempuan Perlu Didukung Aturan Lain

Perma Pedoman Mengadili Perkara Perempuan ini dapat menginspirasi dan menjadi bahan masukan dalam revisi KUHP yang sedang dibahas di DPR.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Karena seringkali ditemukan, sebelum memasuki proses persidangan perempuan sebagai korban tidak terpenuhi hak-haknya dan didiskriminasi secara verbal,” ungkapnya.

 

Tak hanya itu, meski putusan hakim telah berbasis gender dan berpihak pada korban, namun pelaksanaan putusan hakim tersebut sulit sekali dijalankan. Karena itu, agar konsep aturan ini lebih mengakar, ia menyarankan agar MA menjadikan materi atau kurikulum berbasis gender dalam pendidikan hakim.

 

Berbasis moral dan kultur

Salah satu peserta diskusi, Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar mendukung implementasi Perma ini butuh regulasi lain yang lebih memihak pada perempuan. Namun, UU atau aturan khusus yang dimaksud harus berbasis moral. Jika hak-hak perempuan masih dilanggar, maka perlu ada penguatan untuk mempidanakan pelaku atau suami dalam kasus KDRT, dan perceraian yang tidak melaksanakan putusan hakim.

 

“Untuk membuat aturan itu pun perlu pertimbangan kultur yang ada di masyarakat Indonesia dan harus memenuhi kajian filosofi yang mendalam. Sebab, di atas hukum ada hukum, yakni kepantasan, diatas kepantasan ada akal sehat, diatas akal sehat, ada akal semesta. Barulah kajian itu turun pada hipotesis yang dituangkan dalam pasal-pasal dalam UU,” jelasnya.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua MA M. Syarifuddin dalam sambutannya membagi intisari Perma ini dalam tiga bagian. Pertama, pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum di persidangan. Kedua, hakim harus mempertimbangkan kesetaraan gender dan nondiskriminasi dengan mengidentifikasikan fakta persidangan.

 

Ketiga, mengidentifikasi adanya ketidaksetaraan status sosial antar pihak yang berperkara dan adanya relasi kuasa, victim blaming, stereotip negatif, diskriminasi, dampak fisik dan psikis, riwayat kekerasan dan ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan yang menyebabkan perempuan tidak berdaya.

 

Dia menerangkan ketika mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, hakim harus mempertimbangkan dan menafsirkan semua peraturan perundang-undangan yang tertulis ataupun tidak tertulis yang menjamin kesetaraan gender termasuk penerapan konvensi dan perjanjian internasional terkait kesetaraan gender. Hal penting juga penerapan prinsip keadilan restoratif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait