Problematika Pemberantasan Korupsi di Era Pandemi
Kolom

Problematika Pemberantasan Korupsi di Era Pandemi

​​​​​​​Perlu diperhatikan bahwa setiap tindakan dan kebijakan harus didasarkan pada keberadaan iktikad baik.

Bacaan 6 Menit
Muhamad Ali Hasan. Foto: Istimewa
Muhamad Ali Hasan. Foto: Istimewa

Akhir tahun 2020 publik dihebohkan dengan peristiwa penangkapan dan penetapan sebagai tersangka dua menteri dan pejabat pemerintahan lainnya dalam dugaan tindak pidana korupsi. Kemarahan publik kian memuncak karena salah satu dugaan korupsi berkaitan dengan dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak wabah virus Covid-19, di mana wabah tersebut telah memporak-porandakan kondisi kesehatan dan perekonomian nasional.

Upaya menanggulangi masalah kesehatan dan ekonomi akibat Covid-19 dimulai dari terbitnya Perppu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Kemudian, Perppu tersebut disahkan menjadi UU No. 2 tahun 2020.

Berdasarkan produk hukum tersebut, pemerintah dan lembaga terkait melakukan berbagai langkah penanggulangan wabah virus Covid-19 mulai dari bidang kesehatan hingga di bidang sosial, termasuk di antaranya pemberian tambahan dana bantuan sosial sebesar Rp100 triliun bagi masyarakat. Anggaran jumbo ini sudah barang tentu harus dikelola dengan hati-hati dan diimbangi pengawasan yang ketat.

Apabila diperhatikan secara seksama, terdapat hal menarik yang diatur dalam UU No. 2 tahun 2020, yakni adanya upaya “perlindungan hukum” bagi pemerintah dan atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yakni, setiap biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara yang dinilai bukan merupakan kerugian negara. Selain itu, UU No. 2 tahun 2020 juga mengesampingkan adanya tuntutan perdata, pidana maupun tata usaha negara terhadap segala tindakan Pemerintah maupun KSSK yang dibuat berdasarkan UU No. 2 tahun 2020.

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, lantas timbul pertanyaan, bagaimana mekanisme penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi dalam penanggulangan pandemi virus Covid-19 dalam hal terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK yang kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara?

Pergeseran Rezim Pembuktian Unsur Kerugian Negara

Salah satu kesulitan dalam menentukan adanya suatu perbuatan melawan hukum dalam kebijakan Pemerintah atau lembaga terkait untuk dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi adalah pembuktikan terhadap adanya kerugian keuangan negara. Adapun definisi kerugian negara diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengartikan bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, unsur kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), di mana unsur tersebut diawali dengan kata “dapat” yang menjadikan Pasal tersebut sebagai delik formil yang berarti tidak perlu adanya pembuktian terhadap akibat dari perbuatan melawan hukum. Dengan dijadikannya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil maka penegak hukum cukup membuktikan apakah adanya unsur secara melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, maka hal tersebut sudah cukup membuktikan suatu tindakan sebagai tindak pidana korupsi tanpa perlu adanya pembuktian terhadap adanya akibat berupa kerugian keuangan negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait