Problematika Pemilu Serentak, Perlu Evaluasi ‘Radikal’
Utama

Problematika Pemilu Serentak, Perlu Evaluasi ‘Radikal’

Mulai banyaknya jatuh korban, dugaan terjadi kecurangan, hingga dua putusan MK yang kontradiksi terkait sistem pemilu serentak.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Jadi jangan karena ada masalah kemudian langsung men-judge sistemnya tidak bagus. Saya mau bilang sistem pemilu serentak ini sudah disesuaikan dengan zamannya. Kalaupun dalam pelaksanaannya timbul masalah, mungkin iya masih ada kekurangan. Ini yang nanti perlu diperbaiki,” ujar Prof Satya Arinanto dalam sebuah seminar bertajuk “Evaluasi Pemilu Serentak” di FHUI Depok, beberapa waktu lalu.

 

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Denny Indrayana menilai ekses negatif penyelenggaraan pemilu serentak ini tak terlepas dari berlakunya aturan ambang batas pencalonan calon presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu yang sempat diuji, tetapi MK menolak.

 

Sebab, peluang pasangan caprès dan cawapres alternatif seolah tertutup karena syarat pencalonan presiden dinilai cukup berat yakni 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil Pemilu 2014 bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya. Akibatnya, Pilpres 2019 sama halnya dengan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon tanpa pasangan capres cawapres alternatif.   

 

“Sistem pemilu serentak keliru, masyarakat fokus pada pilpres ketimbang pileg, masa kampanye terlalu lama membuat emosi masyarakat terbelah dan masing-masing pendukung capres seolah saling berhadap-hadapan. Ke depan, aturan presidential threshold dalam UU Pemilu dihapus agar ada peluang bagi calon presiden alternatif. UU Pemilu harus dievaluasi lagi,” harapnya.

 

Senada, mantan Komisioner KPU periode 1998-2001 Umar Husein menilai “kekacauan” penyelenggaraan pemilu serentak lantaran aturannya tidak bagus. Misalnya, aturan masa kampenye selama 8 bulan yang menjadi satu-satunya terlama di dunia. Ke depan, dia mengusulkan masa kampanye cukup dua minggu; menghapus ambang batas pencalonan presiden; dan memisahkan kembali pelaksanaan pilpres dan pileg.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti menilai efek pemilu serentak pangkal persoalannya terletak pada putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang menghapus norma pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres pada Januari 2014 silam. Sebab, dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 ini, MK tidak memberi definisi yang jelas dan tuntas apa yang dimaksud dengan pemilu serentak.      

 

Jika dibandingkan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan pilpres dan pileg digelar terpisah tetap konstitusional. Hanya saja, dalam putusan ini terdapat disentting opinion (pendapat berbeda) dari tiga hakim konstitusi yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar. Ketiganya berpendapat pemilu serentak dapat digelar dalam tingkat nasional yakni DPR, DPD dan dan Presiden serta Wakil Presiden. Sedangkan, pemilu serentak tingkat daerah untuk memilih calon anggota DPRD dan kepala daerah. Artinya, putusan ini memberi definisi “pemilu serentak” dimaksud memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah (lokal).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait