Problematika Pemilu Serentak, Perlu Evaluasi ‘Radikal’
Utama

Problematika Pemilu Serentak, Perlu Evaluasi ‘Radikal’

Mulai banyaknya jatuh korban, dugaan terjadi kecurangan, hingga dua putusan MK yang kontradiksi terkait sistem pemilu serentak.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tidak menjelaskan dan memberi petunjuk dari  ‘pemilu serentak’. Mahkamah justru menyerahkan kepada pembuat UU untuk menafsirkan frasa ‘serentak’ dalam UU Pemilu,” bebernya.  

 

Atas dasar dua putusan MK tersebut, kata Prof Susi, MK tidak konsisten. Padahal aturan yang diuji sama terkait dengan aturan pemilu anggota DPR, DPR, DPR, DPRD dan presiden serta wakil presiden. Semestinya, MK dalam putusan 14/PUU-XI/2013 konsisten dengan putusan 51-52-59/PUU-VI/2008. Apalagi, Prof Maria Farida kala itu memiliki pendapat berbeda dengan memegang teguh putusan MK 51-52-59/PUU-VI/2008.

 

“Menurut saya kedua putusan MK itu kontradiksi. Kalau MK terlalu banyak hal-hal yang sangat politik, dia akan terbangun menjadi politic court. Jadi MK tidak konsisten penentuan sistem pemilu. Dan ini berbahaya, karena sistem ini pemilu berkaitan dengan penyelenggaraan negara,” kritiknya. Baca Juga: Aturan Pemilu Serentak Diuji ke MK

 

Evaluasi radikal

Menurut Susi, beragam persoalan yang muncul dalam penyelengaraan pemilu serentak perlu dilakukan evaluasi secara “radikal”. Dimulai dengan menghapus/meniadakan aturan ambang batas pencalonan presiden. Ketika ketiadaan electoral atau ambang batas, maka perlu dilakukan simulasi terlepas apakah sistem pemilunya serentak atau tidak. Namun, bila pemilu tetap digelar secara serentak, MK mesti memberikan petunjuk kepada pembuat UU.

 

Misalnya bisa merujuk pada pandangan Prof Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar bahwa pemilu serentak nasional digelar pada pemilu calon anggota DPR, DPD dan presiden serta wakil presiden. Sementara pemilu lokal serentak digelar untuk pemilihan calon anggota DPRD tingkat I dan II, serta calon kepala daerah.

 

Tak hanya itu, dia menilai lembaga penyelenggara pemilu pun mesti dievaluasi sebagai bagian dari budaya hukum di Indonesia. Baginya, hal yang wajar jika berbagai perangkat penyelenggara pemilu mulai hulu hingga hilir pun dilakukan evaluasi. Terlebih, Pemilu Serentak 2019 ini banyak menelan korban meninggal dan jatuh sakit.

 

Senada, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil mendorong sistem penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 perlu dievaluasi secara total agar bisa diketahui usulan perbaikannya. Misalnya, teknis proses pelaksanaan pilpres dan pileg serentak dipisah menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah).

Tags:

Berita Terkait