Problematika Perkawinan Anak di Indonesia
Kolom

Problematika Perkawinan Anak di Indonesia

Tidak sesederhana karena hamil duluan.

Bacaan 4 Menit

Sepanjang pandemi, diberitakan seorang siswi SMP memilih menikah karena bosan belajar online. Tajuk yang memicu label anak zaman sekarang tidak tangguh atau pemalas. Padahal, jika dipahami lebih dalam, siswi tersebut tidak memiliki pilihan lain untuk hidupnya. Orang tuanya berpisah, tinggal bersama nenek, tidak punya ponsel untuk kelas online, ia berharap menikah dapat mengubah hidupnya jadi lebih baik. Keinginan untuk melanjutkan sekolah akhirnya harus ditinggalkan.

Dilema Pengaturan Perkawinan Anak

Lantas bagaimana sebenarnya hukum Indonesia merespons situasi di atas. Praktik perkawinan di Indonesia yang lekat dengan hukum agama dan adat. Hukum-hukum tersebut yang mengatur tersendiri perihal syarat perkawinan. Akibatnya, keberadaan hukum nasional harus mampu menyeimbangkan perlindungan anak dan penghormatan pada hukum yang hidup di masyarakat.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur usia minimal perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Undang-Undang tersebut juga memperbolehkan dispensasi kawin bagi anak dimana orang tua mengajukan permohonan ke pengadilan.

Undang-Undang tersebut bercokol selama lebih dari 40 tahun tanpa perubahan. Isu perkawinan amat sensitif di negeri ini. DPR dan pemerintah menghindari pembahasannya. Bertahun-tahun, penyintas perkawinan anak dan masyarakat sipil memperjuangkan legislasi hukum perkawinan yang setara dan lebih berpihak pada anak. Sampai akhirnya, penyintas perkawinan anak mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK dengan Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa usia minimum tersebut mengandung diskriminasi pada perempuan dna bertentangan dengan semangat perlindungan anak.

Pasca putusan MK tersebut, dorongan masyarakat sipil berhasil mendesak DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Perkawinan. Kini dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, 19 tahun menjadi usia minimal perkawinan baik untuk perempuan dan laki-laki, dispensasi kawin hanya diperbolehkan dalam kondisi sangat mendesak, dan anak yang akan menikah harus didengar pendapatnya.

Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Pedoman yang mewajibkan peran aktif hakim dalam menilai permohonan dispensasi. Hakim wajib memastikan tidak ada paksaan pada anak. Terhadap orang tua, hakim mendorong mereka tetap mendukung anak yang telah menikah.

Pencegahan Perkawinan Anak ke Depan

Tentu saja perkembangan legislasi di atas patut diapresiasi. Usia minimal perkawinan naik dan dispensasi kawin diatur lebih baik. Namun, perkembangan tersebut tidak cukup untuk mencegah perkawinan anak di negeri ini. Problem struktural yang mendorong anak menikah dini harus diatasi. Mulai dari kemiskinan dan terbatasnya akses pendidikan, anak harus mendapatkan hak-hak tersebut.

Tags:

Berita Terkait