Problematika Perkawinan Anak di Indonesia
Kolom

Problematika Perkawinan Anak di Indonesia

Tidak sesederhana karena hamil duluan.

Bacaan 4 Menit

Dengan pesatnya teknologi dan penggunaan media sosial, konflik nilai yang serius terus dialami anak. Tentu kita masih ingat masifnya kampanye menikah muda oleh Indonesia Tanpa Pacaran atau kasus Aisha Wedding yang mendukung perempuan menikah sejak umur 12 tahun. Pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan kampanye pencegahan perkawinan anak yang lebih masih responsif. Kampanye yang tak boleh melupakan pendidikan seks di dalamnya.

Sulit untuk membantah selama ini pendidikan seks seringkali dianggap tabu. Sudah sering kita dengan upaya pencegahan perkawinan anak harus melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat. Anak dan penyintas perkawinan harus pula menjadi bagian dari upaya ini. Pelibatkan influencer anak juga harus dilakukan. Masifikasi penggunaan beragam media sosial dan kampanye interaktif menjadi wajib.

Menyudutkan anak sebagai biang kerok perkawinan anak tidak menyelesaikan masalah. Anak justru akan semakin takut untuk terbuka dan mengakses bantuan. Perkawinan anak tidak sesederhana akibat pergaulan bebas. Perkawinan anak adalah tanggung jawab kita semua ntuk mencegahnya.

*)Laras Susanti, Dosen pada Fakultas Hukum, UGM, Penerima Beasiswa Fulbright untuk Program SJD di University of Pittsburgh).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait