Prosedur Melaporkan Anggota Polri dan Sanksi Bagi yang Melanggar Kode Etik
Terbaru

Prosedur Melaporkan Anggota Polri dan Sanksi Bagi yang Melanggar Kode Etik

Berdasarkan PP 3/2003, anggota Polri yang terbukti melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pemberhentian secara tidak hormat.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kematian seorang mahasiswi Universitas Negeri Brawijaya Novia Widyasari Rahayu (NWR) mendadak viral. NW ditemukan oleh warga tergeletak tak bernyawa di makam ayahnya setelah nekad menenggak racun jenis potasium sianida. Usut punya usut NW mengalami depresi berat lantaran hubungan asmaranya dengan sang kekasih Bripda Randy Bagus Hari Sasongko (RB) tidak berjalan dengan baik.

Dilansir dari berbagai media, salah satu pemicu depresi NWR disebabkan RB yang enggan menikahinya, meskipun NWR telah berbadan dua. Bahkan RB diduga memaksa NWR untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali. NWR pun kabarnya telah berupaya untuk melaporkan perbuatan RB ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Propam Polri), namun tidak membuahkan hasil.

Sementara itu saat ini RB sudah ditetapkan sebagai tersangka. Polri menindak tegas Bripda RB, melalui pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). "Tindak tegas baik sidang kode etik untuk dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH)," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, seperti dilansir Antara.

Tidak hanya itu, kata Dedi, Bripda RB juga akan diproses pidana sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Hal ini sesuai dengan amanat Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang tidak akan tembang pilih dalam menindak anggota Polri yang melakukan pelanggaran, terlebih pelanggaran berat seperti tindak pidana.

"Polri terus berkomitmen akan melakukan tindakan tegas kepada anggota yang terbukti bersalah," kata Dedi. (Baca: Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual)

Terlepas dari kejadian yang menimpa almarhumah NWR, terdapat suatu prosedur atau mekanisme untuk melaporkan anggota kepolisian ke Propam. Dilansir dari Klinik Hukumonline “Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran”, Propam Polri memiliki Prosedur Operasional Standar tentang Penerimaan Surat Pengaduan Masyarakat dan Pendistribusiannya kepada Bagian Pelayanan dan Pengaduan.

Pelapor atau pengadu dapat melaporkan tindakan yang dilakukan anggota Polri ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) terdekat. Sedangkan untuk proses pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan, akan ditindaklanjuti secara terpisah oleh Divpropam Polri.

Saat pengaduan, bagian SPK akan menerima dan melayani tamu dengan baik, menerima penjelasan maksud dan tujuan dari pelapor/pengadu, menerima dan membuat Laporan Pengaduan/Laporan Polisi serta mencatatkan/mengagendakan, membuat dan menyerahkan Surat Penerimaan Laporan Polisi (SPLP), dan dilanjutkan dengan memberikan informasi/penjelasan tentang mekanisme dan jangka waktu standar penyelesaian penanganan laporannya.

Kemudian penerima laporan akan meneruskan pelapor/pengadu, saksi-saksi lainnya beserta alat bukti (bilamana ada) ke Pus Provost untuk dilakukan proses pemeriksaan pendahuluan/Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah itu Pus Provost akan menilai permasalahan yang dilaporkan oleh pengadu atau pelapor, melimpahkan laporan pengaduan/laporan polisi dan BAP Pendahuluan serta alat bukti sesuai dengan kapasitasnya. Dan langkah terakhir adalah menerbitkan suatu pemberitahuan tindak lanjut penanganan perkara kepada pelapor/saksi korban.

Proses Hukum dan Kode Etik

Kode etik anggota Polri diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 14/2011). Pasal 4 Perkapolri 14/2011 menyebutkan ruang lingkup etika terdiri dari:

a.    Etika Kenegaraan;

b.    Etika Kelembagaan;

c.    Etika Kemasyarakatan; dan

d.    Etika Kepribadian.

Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa; Etika Kenegaraan adalah sikap moral anggota Polri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kebhinekatunggalikaan; Etika kelembagaan adalah sikap moral anggota Polri terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya.

Etika Kemasyarakatan adalah sikap moral anggota Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia; dan Etika Kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan, ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam Pasal 21 dan 22 Perkap 4/2011 menyebutkan dua bentuk sanksi bagi anggota polisi yang diduga melanggar kode etik yakni sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP) dan sanksi administratif berupa rekomendasi Pemberhentian tidak Dengan Hormat (PTDH).

Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bentuk sanksi pelanggaran KEPP adalah sanksi Pelaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang bersangkutan; kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;

Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau PTDH sebagai anggota Polri. Sanksi Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, merupakan sanksi administratif berupa rekomendasi.

Kemudian ada sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH yang diatur dalam Pasal 21 ayat (3). Pengenaan sanksi ini dapat dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang salah satunya  melakukan pelanggaran dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri.

Dalam Pasal 11 PP No 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat apabila: melakukan tindak pidana; melakukan pelanggaran; meninggalkan tugas atau hal lain.

Apabila Anggota Kepolisian tersebut melakukan dugaan tindak pidana perkosaan terhadap pacarnya, maka ia harus menjalani proses persidangan di lingkungan peradilan umum sesuai ketentuan Pasal 2 PP 3/2003. Dan penting untuk dipahami, tersangka atau terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berhak mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP 3/2003.

Sementara itu, anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan kekerasan dalam pacaran adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat yang ketiga terbanyak dilaporkan. "Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir 34 provinsi, sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat," kata Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Pihaknya menyebut dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Namun demikian kasus kekerasan dalam pacaran sering berakhir dengan kebuntuan diproses hukum.

"Latar belakang hubungan pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum," tuturnya.

Tags:

Berita Terkait