Raih Gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas Outsourcing yang Berkeadilan
Utama

Raih Gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas Outsourcing yang Berkeadilan

Untuk membangun sistem alih daya yang berkeadilan, perlu ada Undang-Undang tersendiri tentang outsourcing.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Pandangan Mahkamah itu juga sejalan dengan keterangan Pemerintah di persidangan bahwa outsourcing memang tak mungkin dihapuskan. Pemerintah menegaskan hubungan kerja berdasarkan PKWT dan alih daya adalah dalam rangka memberikan kesempatan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan perbandingan, Ike Farida juga menunjukan bahwa outsourcing dipakai bahkan berhasil dijalankan di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.

 

Pemerintah sebenarnya sudah menindaklanjuti putusan MK itu melalui regulasi Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial No. 31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/20111, Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, dan Surat Edaran Menteri No. 04/Men/VIII/2013. Menurut Ike, di satu sisi benar bahwa beleid pasca putusan MK itu menyelesaikan permasalahan pekerja PKWT. Namun di sisi lain menimbulkan ketidakadilan baru terhadap pelaku outsourcing lainnya, yakni pengusaha. Intinya, promovendus berpandangan bahwa peraturan pelaksanaan yang diterbitkan Pemerintah pascaputusan MK belum dapat memfasilitasi kepentingan dan memberikan keadilan bagi seluruh pelaku alih daya.

 

Saat ini pun masih ada kekosongan hukum. Ike menunjuk ketidakjelasan pengaturan tentang pekerja pemborongan. Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 hanya mengatur tentang perlindungan jaminan kelangsungan kerja untuk PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Bahkan sebenarnya pengaturan tentang jaminan keberlangsungan kerja dalam Permenakertrans juga belum komprehensif. Jika dihubungkan dengan syarat perjanjian dalam 1320 BW (KUH Perdata), misalnya, muncul persepsi keliru. Meskipun para pihak telah menyepakati sejak awal masa kerja, seolah-olah kesepakatan tersebut menjadi diabaikan dan dikesampingkan oleh jaminan keberlangsungan kerja. Jaminan keberlangsungan kerja yang berlaku saat ini, jelas Ike, memaksa pekerja dan perusahaan outsourcing baru untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian kerja dengan mengesampingkan kehendak masing-masing pihak (tidak adanya freedom of choice). Jaminan itu juga memaksa vendor lama untuk melepaskan kerjanya dengan pekerja PKWT-nya.

 

Untuk membangun sistem outsourcing yang berkeadilan, advokat kelahiran 1 Januari itu mengusulkan pentingnya membuat Undang-Undang tersendiri. Aturan yang dimasukkan dalam Undang-Undang tersebut harus dapat memfasilitasi kepentingan para pelaku outsourcing. Dengan kata lain, harus mengatur segala situasi yang mungkin terjadi dalam praktek dan pelaksanaan jaminan perlindungan keberlangsungan kerja. Dalam disertasinya, Ike menyertakan sejumlah usulan materi muatan yang perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang tentang Outsourcing.

Tags:

Berita Terkait