Refleksi Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Legislasi
Kolom

Refleksi Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Legislasi

Dalam proses legislasi perlu melihat kembali sistem negara modern yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara dan adanya saling mengawasi antara cabang kekuasaan tersebut.

Bacaan 2 Menit

Di Indonesia, UUD NKRI Tahun 1945 tidak terdapat pasal yang secara tegas menyatakan sistem pemerintahan menganut sistem presidensial, tetapi kekuasaan pemerintahan negara di Pasal 4 UUD NKRI Tahun 1945 diberikan kepada lembaga Presiden. Presiden dalam pengertian tersebut memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, walaupun dalam Konstitusi tidak secara tegas menyatakan perbedaan tugas presiden sebagai kepala pemerintahan atau sebagai kepala negara. Pembedaan tugas tersebut pada kategorisasi kegiatan seremonial dan kenegaraan lebih kepada tugas presiden sebagai kepala negara.

Dalam pembuatan undang-undang di Indonesia, memang telah terjadi pergeseran setelah adanya amandemen pertama. Kekuasaan legislasi pada sebelum amandemen ada pada Presiden, saat ini telah digeser kepada DPR, tetapi sebetulnya dalam pandangan Saldi Isra telah terjadi penguatan Presiden dalam proses legislasi karena presiden terlibat dalam seluruh proses pembentukan Undang-Undang.

Dalam tahapan awal, Presiden dapat mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU), kemudian dalam pembahasan Presiden ikut membahas RUU dengan DPR untuk mencapai persetujuan bersama, dan kemudian Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama menjadi Undang-Undang. Pelibatan eksekutif dalam legislasi ini lebih mencerminkan sistem parlementer, tetapi bedanya bahwa kapasitas eksekutif yang ikut membahas RUU bukan dalam rangka kapasitasnya sebagai pemerintah tetapi tetap dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen karena dalam sistem pemerintahan parlementer, seseorang dapat merangkap jabatan anggota kabinet dan anggota parlementer.

Dalam sisi teknis, UUD NKRI yang memberikan kewenangan Presiden ikut terlibat dalam pembahas RUU, mengakibatkan tambahnya beban pemerintahan yang tidak hanya dalam tugas eksekutif tetapi dengan tugas legislatif (ikut membahas RUU secara bersama). Hal ini akan menjadi masalah lebih serius dalam kondisi birokrasi di Indonesia yang masih dinilai lamban dalam memberikan pelayanan kepada publik, serta reformasi birokraksi yang belum tuntas sampai saat ini. Selain itu, pelibatan pemerintah secara langsung terhadap proses legislasi memberikan beban anggaran besar kepada negara karena anggaran pembuatan undang-undang tidak hanya terfokus di DPR tetapi juga di Pemerintah dalamr angka pelaksanaan tugasnya dalam proses legislasi.

Dalam kacamata politik, pembahasan RUU bersama antara pemerintah dan DPR sebagai intitusi negara yang seharusnya melakukan check and balances akan menjadi bias kepentingan antara kepentingan memerintah dan kepentingan mengawasi pemerintahan, sehingga persetujuan bersama yang diwajibkan ada untuk dalam pembahasan undang-undang akan bersifat kompromi dari dua kepentingan tersebut. Hal ini akan diperparah ketika Pemerintah didukung oleh mayoritas partai politik yang ada di DPR, yang akan mengikis fungsi check and balances DPR terhadap Pemerintah dan di sisi lain membuat Presiden sebagai kepala pemerintahan tersandra dalam kepentingan partai politik pendukungnya di DPR. Sehingga kondisi ideal pemisahan kekuasaan dan saling mengawasi dalam negara modern akan sulit untuk berjalan dengan kondisi demikian.

Dalam pengesahan undang-undang di sistem presidensial murni di Amerika Serikat kewenangan pengesahan undang-undang ada pada Presiden dengan diberikan hak veto untuk menolak RUU yang diajukan kepadanya (walaupun hak veto dapat dibatalkan oleh House of Representatif dengan mekanisme yang lebih berat), tetapi Presiden mempunyai kewenangan yang tinggi dalam proses penentuan berlakunya suatu undang-undang. Proses ini yang tidak ditemui dalam legislasi di Indonesia saat ini, kewenangan tersebut dikikis dengan telah ikutnya pemerintah dalam proses pembentukan uu dalam tahapan pembahasan.

Menurut Marsilam Simanjutak, tidak lagi diperlukan hak veto dalam pembentukan legislasi berdasarkan UUD NKRI 1945. Dalam hal ini Zainal Arifin Mochtar berpendapat pengesahan RUU oleh Presiden hanya sebagai proses administrasi, karena tanpa persetujuan Presiden, sesungguhnya RUU tetap akan berlaku.

Tags:

Berita Terkait