RUU Hukum Acara Perdata Bukan Prioritas dalam Prolegnas, Mengapa?
Konferensi ADHAPER 2018:

RUU Hukum Acara Perdata Bukan Prioritas dalam Prolegnas, Mengapa?

Dirancang sejak lama, RUU Hukum Acara Perdata belum menjadi prioritas. Dinamika politik mempengaruhinya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Salah satu parameternya adalah hasil kesepakatan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. “Prolegnas itu kan pembahasannya antara BPHN dengan Baleg. Mereka nanti yang akan mendiskusikan ini mendesak atau tidak,” katanya.

 

Parameter lain yang disebutkan Widodo adalah ada atau tidaknya putusan Mahkamah Konstitusi yang menuntut revisi suatu undang-undang. “Kalau karena putusan MK, itu bisa langsung. Tidak usah menunggu di Prolegnas, tapi khusus pada pasal yang dibatalkan. Nah ini maunya kan semua,” jelas Widodo.

 

(Baca juga: Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?)

 

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM, Benny Riyanto menambahkan bahwa ia memahami upaya revisi hukum acara perdata dipilih lebih dulu ketimbang revisi kitab undang-undang hukum perdata karena berkaitan proses penegakan hukum.

 

Benny, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Diponegoro Semarang, memaklumi bahwa prioritas pembaharuan hukum acara berkaitan sebagai upaya perbaikan citra peradilan. “Prosedur beracaranya harus tertib dulu. Makanya di hukum pidana pun KUHAP lahir tahun 1981, lebih dulu ketimbang RUU KUHP,” jelasnya kepada hukumonline usai acara.

 

Diwawancarai hukumonline secara terpisah, Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah menjelaskan RUU Hukum Acara Perdata sebenarnya dirancang dalam periode bersamaan dengan KUHAP. “Tahun 1987 saya sudah terlibat untuk membantu merumuskan di UGM, waktu saya masih dosen muda, dipimpin oleh Prof.Sudikno,” katanya. Efa mencatat RUU Hukum Acara Perdata terus disempurnakan versi tahun 1997, tahun 2003, tahun 2007, tahun 2012, tahun 2015, dan terakhir tahun 2017 lalu.

 

(Baca juga: Surat Kuasa, Kunci Segala Pintu Masuk Beracara)

 

Ia menduga bahwa ada pandangan yang keliru melihat hukum acara perdata tidak bernilai penting bagi pencari keadilan. Padahal ada banyak persoalan yang berkaitan dengan kepentingan sengketa bisnis akan terbantu dengan hukum acara perdata yang diunifikasi dalam satu undang-undang.

 

Hal ini dibenarkan Basuki Rekso Wibowo, ahli hukum acara perdata Universitas Airlangga ini menngatakan pada hukumonline bahwa mekanisme small claim court ternyata justru banyak diminati perbankan untuk mengatasi kredit macet. “Tadinya kami merancang itu untuk perkara biasa, tidak terbayang untuk keperluan bisnis, ternyata Bank yang banyak menggunakan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait