Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE
Utama

Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE

Presiden meminta jajaran Polri mesti menerjemahkan pasal-pasal UU ITE secara hati-hati bila menindaklanjuti laporan masyarakat karena penerapan UU ITE ini menimbulkan ketidakadilan. Karena itu, sejumlah kalangan mendorong agar UU ITE segera direvisi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo berjanji bakal memenuhi permintaan Presiden Jokowi. Menurutnya, jajaran Polri bakal selektif menerapkan pasal-pasal UU ITE yang sering dijadikan rujukan dalam pelaporan pencemaran nama baik di dunia maya. Ini sebagai bagian menghindari upaya saling lapor menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap pasal karet sekaligus menghindari upaya kriminalisasi. 

Jenderal polisi bintang empat itu bakal memerintahkan jajarannya di bawah agar mengedepankan aspek edukasi dan upaya persuasif serta menerapkan langkah restoratif justice agar penggunaan ruang dunia maya menjadi lebih sehat. Namun begitu, Lisyto meminta masyarakat dunia maya mematuhi aturan dan etika yang berlaku ketika berselancar di jagad media sosial. “Kami upayakan langkah-langkah yang bersifat restorative justice,” ujar mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) itu.

Revisi

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Airlangga Herlambang P. Wiratraman menilai pembaharuan politik hukum terhadap UU ITE menjadi keharusan. Dia pun menyarankan agar pidana pencemaran nama baik di ranah daring dapat dihapuskan dari UU ITE nantinya dengan beberapa alasan. Pertama, sejumlah kasus dugaan pencemaran nama baik lebih banyak dilatarbelakangi motif balas dendam.

Kedua, kasus pencemaran nama baik kecenderungan digunakan sebagai upaya membungkam kritik. Ketiga, pentingnya melindungi kebebasan dalam menjaga negara hukum dan demokrasi. Apalagi banyak sudah negara yang menghapus pidana pencemaran nama baik. Keempat, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah merekomendasikan penghapusan pidana pencemaran nama baik ini.

Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar menilai perlunya pengaturan jaminan penggunaan internet untuk kebebasan berpendapat. Karenanya, menjadi penting untuk merevisi UU 19/2016 untuk mendudukkan aturan tersebut secara tepat dan proporsional. Pasalnya. UU ITE merupakan aturan ‘sapujagat’, yang membutuhkan pengaturan lebih detil. 

Bahkan mungkin, perlu juga dipecah ke dalam beberapa UU, sehingga penerapannya tidak muncul persoalan akibat fleksibilitas rumusan aturannya. Selain itu, penegakan hukum harus selektif terhadap sejumlah kasus yang mengancam kebebasan sipil. “Perlu panduan detil terhadap penerapan pasal-pasal pidana yang terkait teknologi informasi dan komunikasi ini,” kata Wahyudi Djafar dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, Direktur LBH Pers Ade Wahyudi menilai penerapan UU ITE telah memakan banyak korban. Korbannya bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga kalangan jurnalis dan akademisi, bahkan aktivis buruh yang melakukan advokasi terhadap pekerja. Ancaman bukan hanya penggunaan pasal-pasal pidana dalam UU ITE, tetapi juga serangan siber. Misalnya serangan siber yang menimpa beberapa media massa akibat pemberitaan.

Tags:

Berita Terkait