Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE
Utama

Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE

Presiden meminta jajaran Polri mesti menerjemahkan pasal-pasal UU ITE secara hati-hati bila menindaklanjuti laporan masyarakat karena penerapan UU ITE ini menimbulkan ketidakadilan. Karena itu, sejumlah kalangan mendorong agar UU ITE segera direvisi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Ironisnya, sejumlah kasus serangan siber yang menimpa aktivis dan media massa tak berhasil diungkap hingga mendekati akhir tahun 2020. Beda halnya dengan kasus-kasus yang menimpa instansi atau tokoh pemerintah, penanganannya cepat dilakukan. Itu sebabnya, salah satu kritik Ade Wahyudi adalah ketidakadilan dalam penerapan UU ITE ini. “Ada ketimpangan penerapan pidana UU ITE,” ujar Direktur LBH Pers ini dalam webinar ‘Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE’, Selasa (22/12/2020) lalu.

Berdasarkan pantauan LBH Pers, dua pasal yang paling krusial dan menjerat banyak orang adalah Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat (2) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Wakil Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnama Sari, lebih keras melayangkan kritik terhadap implementasi UU ITE selama ini. “Seharusnya UU ITE menjadi pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi teror bagi banyak orang,” tegasnya dalam webinar yang sama. Mantan Direktur LBH Padang itu khawatir kecenderungan implementasi UU ITE yang multitafsir dan politis.

Misalnya dapat dilihat dari penggunaan UU ITE untuk membungkam pihak yang melayangkan kritik (termasuk aktivis dan jurnalis) dan lawan politik. Bahkan, pejabat yang sedang mengemban jabatan pun menggunakan UU ITE untuk melaporkan orang yang melayangkan kritik terhadap kebijakannya.

Kecenderungan lain meletakkan pasal pencemaran nama baik sebagai delik formil, sehingga akibat dari perbuatan itu tidak menjadi unsur yang harus dibuktikan. Dalam beberapa kasus, pengertian “golongan” dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dimaknai secara luas meliputi partai politik dan ikatan profesi dokter. Perluasan ini mendapat legitimasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XV/2017, yang intinya menyatakan antar golongan tidak hanya meliputi suku, agama dan ras, tetapi melebihi dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakilkan atau terwadahi oleh suku, agama dan ras.

Perluasan penafsiran dalam praktik itulah yang pada akhirnya menyasar banyak orang. Pemahaman aparat penegak hukum, khususnya hakim, terhadap pencemaran nama baik dan penghinaan pun beragam. Salah satu yang sering dilupakan adalah unsur tujuan; apakah orang yang mengeluarkan pernyataan atau membuat tulisan benar-benar bertujuan melakukan penghinaan atau pencemaran?

Cara berpikir ini dapat dilihat dalam putusan PK perkara Prita Mulyasari. Prita menyampaikan keluhan mengenai pelayanan salah satu rumah sakit, kemudian dilaporkan ke polisi. Putusan Peninjauan Kembali (No. 225 PK/Pid.Sus/2011) menyebutkan hakim kasasi telah melakukan kekeliruan yang nyata, karena Prita sama sekali tidak memiliki tujuan untuk melakukan pencemaran. Era Purnama menilai, dalam kasus ini, hakim meletakkan pencemaran sebagai tujuan untuk dapat dipidananya seseorang.

Tags:

Berita Terkait