Sejumlah Persoalan Ini Pengaruhi Kualitas Penyelesaian Sengketa Perdata
Utama

Sejumlah Persoalan Ini Pengaruhi Kualitas Penyelesaian Sengketa Perdata

Mulai biaya persidangan yang terbilang mahal, lamanya proses persidangan, sengketa perdata yang berujung pidana, hingga aturan hukum yang masih mengacu HIR yang dibuat 1848 yang seharusnya diperbarui.

CR-26
Bacaan 2 Menit

 

Kemudian, tanggungan biaya terhadap gugatan perdata yang dikabulkan juga semakin memperbesar. Tanggungan biaya tersebut tidak hanya ditanggung pada pihak yang kalah melainkan pihak pemenang juga berpotensi menanggung biaya perkara berdasarkan ketentuan pengadilan. Mengenai biaya perkara diatur dalam Pasal 183 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR).

 

Selain persoalan biaya, proses persidangan (hukum acara) perdata di Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan data World Bank, Indonesia berada di urutan 146 dari 190 negara dalam hal kualitas sistem persidangan perdata. Berdasarkan data tersebut, rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Indonesia mencapai 390 hari atau lebih dari satu tahun.

 

Chandra menyarankan seharunya pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus perdata lebih mengutamakan mediasi daripada proses litigasi. Padahal, menurut Chandra, proses mediasi lebih efisien dari sisi biaya dan waktu.

 

“Mediasi sering disebut tidak efektif karena orientasi advokat masih terfokus pada litigasi yang umumnya panjang dan melelahkan. Belum banyak advokat yang mau dan mampu mengupayakan renegosiasi pasca timbulnya sengketa, yang sebenarnya bisa berbuah perjanjian perdamaian atau settlement agreement,” kata Chandra.

 

Dampak dari kondisi tersebut, Chandra menjelaskan hampir separuh perkara pidana yang dikasasi ke MA berawal dari sengketa perdata. Berdasarkan Laporan Tahunan MA pada 2015, kasus penipuan sebagai tindak pidana umum terbanyak dengan 19,89 persen dari total kasus. Padahal, menurut Chandra, kasus tersebut tergolong dalam kasus perdata. Laporan Tahunan MA tersebut juga menyatakan penggelapan merupakan kasus kedua terbanyak mencapai 10,63 persen. Kemudian, kasus pemalsuan surat mencapai 10,17 persen.

 

“Kasus peradilan perdata belum bisa memberi dampak konkrit (efektif) bagi penyelesaian sengketa terutama eksekusi sehingga sistem peradilan pidana yang dipakai. Harapannya, ancaman pidana bisa menekan pihak lawan untuk memenuhi kewajibannya,” kata Chandra.

 

Padahal, dia melanjutkan gugatan perdata yang diikuti dengan laporan polisi berdampak terhadap terganggunya proses pemeriksaaan perdata. “Banyak gugatan perdata yang diikuti dengan laporan polisi. Di sebagian kasus, laporan tersebut kerap berjalan berbarengan dan menghantui proses perdatanya,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait