Sengkarut Legislasi Mineral dan Batubara
Kolom

Sengkarut Legislasi Mineral dan Batubara

Karut-marut legislasi pertambangan mineral dan batubara ini menjadi potret betapa pembentukan peraturan perundang-undangan hari ini amat jauh dari konsep filosofis dan sosiologis.

Bacaan 2 Menit

Bongkar-paksa ini terlihat amat jelas dalam prosedur pembentukannya yang akrobatik. Lihat saja, RUU Minerba tidak memenuhi kriteria carry over sesuai Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun dipaksakan untuk carry over. Dalam Pasal 71A UU No.15 Tahun 2019 diatur bahwa dalam hal pembahasan RUU telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.

Secara faktual, RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir bulan September 2019 belum dilakukan pembahasan DIM RUU Minerba. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat Ketua Komisi VII DPR RI nomor LG/0073/DPR RI/I/2020 tanggal 20 Januari 2020 kepada Ketua DPR dan Ketua Baleg DPR yang menyampaikan bahwa RUU Minerba tidak memenuhi kriteria carry over karena DIM-nya baru diterima pada 25 September 2019 (lima hari sebelum DPR Periode 2014-2019 berakhir masa jabatannya) sehingga tidak dapat masuk ke Prolegnas RUU yang di-carry over dan selama periode DPR periode 2014-2019 belum pernah ada pembahasan DIM antara DPR dan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019, RUU Minerba bukanlah RUU carry over sehingga tidak dapat dilanjutkan pembahasannya. Sebaliknya ia harus mulai dari tahap awal, yaitu perencanaan, penyusunan, baru pembahasan. Artinya, pemaksaan carry over RUU Minerba ke DPR Periode 2019-2024 jelas illegal karena bertentangan dengan Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019.

Selanjutnya, peran DPD RI sesuai Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan MK No.92/PUU-X/2012 pun dinegasikan. Padahal DPD RI mendapat atribusi kewenangan dari Konstitusi. Setiap RUU di bidang sumber daya alam perlu ada peran DPD RI dalam penyusunan dan pembahasannya. Hal ini berdasarkan Pasal 22D UUD NRI 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Putusan MK No. 92/PUU-X/2012. Dalam Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 menyatakan bahwa DIM diajukan oleh Presiden dan DPD jika RUU berasal dari DPR. Kenyataannya tidak ada DIM yang dibuat oleh DPD sepanjang pembahasan RUU Minerba. Ketiadaan DIM dari DPD dan ketiadaan keterlibatan DPD dalam penyusunan dan pebahasan ini jelas menentang amanat Pasal 22D UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012, dan Putusan MK.

Lebih lanjut, ada soal asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 dalam pembentukan UU Minerba. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder secara luas, termasuk pemerintah daerah dan BUMN. Hal ini jelas melanggar asas keterbukaan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu waktu yang panjang untuk memvalidasi, mengklarifikasi, memfalsifikasi setiap rencana norma yang akan mengatur rakyat. Uji publik ini amatlah penting melalui pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai kelompok kepentingan mentesis-antitesiskan rancangan normanya.

Belum lagi, soal implementation problem, interpretation problem, dan capacity problem dalam UU No. 3 Tahun 2020. Kewenangan yang adil dan selaras dalam pemanfataan sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam Pasal 18A ayat (2) UUD NRI 1945 begitu kering. Seluruh kewenangan di bidang pertambangan mineral dan batubara ditarik ke pemerintah pusat. Memang ada janji ‘dapat didelegasikan’, namun secara konstitusional, Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945 mengatur bahwa desentralisasi ruangnya merupakan ‘undang-undang’ bukanlah ‘peraturan pemerintah’.

Lain lagi, soal wiayah hukum pertambangan minerba yang dapat berada di seluruh ruang darat, laut, pesisir, pulau yang menegasikan perencanaan tata ruang, serta adanya jaminan bahwa perubahan tata ruang tidak boleh mengubah wilayah izin usaha pertambangan. Bahkan dalam normanya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin penerbitan perizinan lain (selain izin tambang) yang mendukung kegiatan usaha pertambangan. Ibarat sektor superior, pertambangan minerba tidak boleh diganggu-gugat oleh sektor lainnya. Akan ada soal berat dalam implementation problem, interpretation problem, dan capacity problem UU ini.

Tags:

Berita Terkait