Sepakat dan Permasalahannya: Teori dan Kepercayaan
Catatan Hukum J. Satrio

Sepakat dan Permasalahannya: Teori dan Kepercayaan

​​​​​​​Menurut Teori Kepercayaan, kalau pihak yang menerima pernyataan tahu atau sepatutnya tahu, bahwa si pemberi pernyataan keliru dalam pernyataannya, maka akseptasi dari pihak yang menerima pernyataan tidak menimbulkan perjanjian.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Catatan. Sebagaimana sudah disebutkan di depan, pernyataan seseorang bisa diberikan melalui tindakan, ucapan, tulisan atau sikap si pemberi pernyataan.

 

Menurut Teori Kepercayaan, kalau pihak yang menerima pernyataan tahu atau sepatutnya tahu, bahwa si pemberi pernyataan keliru dalam pernyataannya, maka akseptasi dari pihak yang menerima pernyataan tidak menimbulkan perjanjian.

 

Masalah “tahu” dan/atau “sepatutnya tahu”, berkaitan dengan gambaran yang muncul pada benak pihak yang menerima penawaran (pernyataan) -- yang muncul sebagai akibat dari pernyataan si pemberi penawaran -- atas mana si penerima penawaran (pernyataan) patut untuk percaya, bahwa yang dinyatakan itu memang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan, dengan perkataan lain percaya bahwa yang dinyatakan adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh si pemberi pernyataan. Di sini “kepatutan” mempunyai peranan turut menentukan lahirnya perjanjian.

 

Contoh: kalau setelah berunding mengenai suatu perjanjian tertentu, salah satu pihak menyalami pihak yang lain, maka bisa timbul gambaran dalam benak pihak lain dalam perjanjian, bahwa perjanjian itu telah disepakati. Tindakan “menyalami” dalam peristiwa seperti itu bisa menimbulkan gambaran (kepercayaan) dalam benak lawan janji dalam perjanjian, bahwa perjanjian dengan itu lahir.

 

Kalau dalam suatu lelang, ada hadirin yang menjulurkan jari atau tangan ke atas, maka pada benak juru lelang bisa timbul suatu kesan (gambaran), bahwa hadirin itu menawar harga yang baru saja disebutkan oleh juru lelang.

 

Kalau tamu di restoran setelah menghabiskan es kopior yang telah dipesan, kemudian ia membunyikan gelas minum dengan sendok dan mengangkat gelas itu disertai dengan menjulurkan jari telunjuk, maka pada pemilik restoran timbul suatu persepsi, bahwa tamu itu pesan 1 gelas es kopior lagi.

 

Masalahnya, kalau bukan seperti itu yang dimaksud oleh pihak yang memberikan pernyataan, apakah dalam peristiwa seperti itu dengan akseptasi dari lawan janjinya lahir suatu perjanjian? Kalau yang menyalami lawan janji tidak hendak menyatakan, bahwa perjanjian telah ditutup, tetapi hanya mau pamit saja; kalau yang menjulurkan tangan atau jari dalam lelang tidak hendak menawar, lalu apakah aksepatsi dari lawan janjinya menimbulkan perjanjian?

Tags:

Berita Terkait