Tantangan dan Penegakan Hukum dalam Persaingan Usaha Perbankan Digital​
Terbaru

Tantangan dan Penegakan Hukum dalam Persaingan Usaha Perbankan Digital​

Pandemi Covid-19 telah mempercepat digitalisasi di sektor perbankan, hal ini dikarenakan terbatasnya ruang gerak masyarakat sehingga membuat kemudahan teknologi menjadi pilihan yang paling ideal.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Tantangan dan Penegakan Hukum dalam Persaingan Usaha Perbankan Digital​
Hukumonline

Saat ini, isu yang sedang hangat dibahas terkait hukum adalah interkoneksi antara hukum dan teknologi. Hadirnya berbagai macam teknologi baru ini menantang hukum, karena teknologi memungkinkan dapat menimbulkan reaksi baru yang tidak diakui oleh hukum.

Perkembangan teknologi ini merambah sejumlah sektor yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, yang paling krusial adalah sektor ekonomi. Adanya disrupsi dalam teknologi informasi menimbulkan fenomena baru di masyarakat, kegiatan masyarakat yang awalnya dilakukan secara konvensional kini sudah beralih ke digital.

Secara tidak langsung, adanya digitalisasi teknologi ini sedikit mengganggu sistem yang sudah ada sebelumnya. Hal ini juga termasuk ke dalam bidang perbankan. Perbankan menjadi sektor yang paling mencolok atas adanya digitalisasi teknologi ini. Kegiatan bayar membayar serta keperluan yang dilakukan secara manual di bank, kini bisa dilakukan hanya lewat ponsel pintar.

Dalam ranah persaingan usaha, era digitalisasi teknologi ini mengubah aktivitas masyarakat yang membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan dengan mengikuti metode perkembangan digitalisasi yang tentunya dilakukan secara online.

Perubahan ini tentu berdampak pada persaingan usaha dan menimbulkan tantangan yang baru. Perusahaan perbankan dengan data market yang besar tentu akan diuntungkan. Mulyawan Ranamenggala selaku Direktur Ekonomi KPPU menjelaskan lahirnya persaingan usaha di sektor perbankan digital adalah akibat adanya perkembangan teknologi.

Bank digital menurut Pasal 1 Angka 22 adalah bank berbadan hukum Indonesia yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat atau menggunakan kantor fisik terbatas.

“Bank digital ini muncul akibat perkembangan IT yang sangat cepat, hampir semua orang saat ini memiliki ponsel pintar yang pada akhirnya kita semua terkoneksi dengan data. Hal ini menjadi salah satu penyebab terciptanya produk-produk digital yang baru," katap Mulyawan dalam seminar BLC Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Sabtu (4/12).

Hukumonline.com

Dari hasil penelitian KPPU tahun 2020, persaingan usaha di industri perbankan secara garis besar hampir 50% penguasaan pasarnya dikuasai oleh 4 bank besar di Indonesia. “Perbankan besar ini menawarkan produk kepada masyarakat yang sudah dipaketkan sehingga cukup berpotensi merugikan masyarakat. Potensi ini misalnya BI rate yang telah ditetapkan oleh BI tidak berpengaruh suku bunga dan bisa merugikan masyarakat. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa kesejahteraan konsumen berkurang," tambahnya.

Munculnya inovasi disruptif jika tidak diantisipasi dengan baik oleh dunia usaha dapat menyebabkan kejatuhan terhadap pelaku usaha yang tidak dapat mengikuti perkembangan digitalisasi. Terkait dengan persaingan dalam perbankan digital, Mulyawan membeberkan belum adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran.

“Persaingan dalam perbankan digital belum mengarah terjadinya pelanggaran, karena memiliki segmen pasar yang berbeda. Namun yang marak terjadi saat ini adalah bank-bank konvensional besar mulai melakukan merger dan akuisisi terhadap neobank," jelasnya.

Baca:

Neo bank muncul sebagai inovasi dalam industri perbankan, perbedaan signifikan adalah basis utama dalam neo bank berada pada sistem digitalnya, selain itu neo bank tidak memiliki cabang fisik. Dapat diartikan bank digital lahir dari bank konvensional yang mulai memanfaatkan penggunaan digital sebagai sebuah inovasi.

Belum adanya pelanggaran bukan berarti tidak akan ada pelanggaran. Untuk itu KPPU perlu melihat isu persaingan di era ekonomi digital ke depannya. Hal yang menjadi fokus KPPU dalam persaingan isu ini diungkapkan Mulyawan yang kemungkinan besar akan terjadi di masa depan.

“Potensi adanya isu persaingan di era ekonomi digital yang menjadi fokus dari otoritas persaingan adalah entry barrier actions, di mana perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar dapat mengontrol pasar dan konsumen serta melakukan entry barrier. Selain itu adanya potensi perilaku predatory price or price discrimination yang ditujukan untuk menyingkirkan pesaing. Lalu, adanya potensi perilaku tacit collusion dimungkinkan terjadi jika pelaku usaha dominan dijadikan patokan dalam menentukan tingkat bunga bank,” tambah Mulyawan.

Ia juga melanjutkan potensi yang mungkin terjadi di masa depan adalah potensi exclusive agreement untuk memperluas pasar menjadi integrasi platform. Selain itu juga potensi abusive of dominant position di mana perusahaan yang memiliki dominasi pasar menggunakan kekuatannya untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan, membatasi pasar dan menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing. Lalu adanya potensi perilaku merger dan akuisisi yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat juga menjadi fokus KPPU.

Jika terjadi persaingan usaha tidak sehat akan dikenakan sanksi administrasi dan sanksi pidana dengan ancaman penjara satu tahun dan denda Rp4 miliar. OJK turut berpandangan, bahwa tidak perlu dikotomi antara bank konvensional, bank yang telah memiliki layanan perbankan digital, bank digital hasil transformasi dari bank tradisional ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru.

Tags:

Berita Terkait