Telaah Eksistensi Peradi Pasca Putusan Mahkamah Agung
Kolom

Telaah Eksistensi Peradi Pasca Putusan Mahkamah Agung

Eksistensi keorganisasian Peradi inilah yang agaknya masih mengandung sesuatu yang belum tuntas didamaikan ketika pendekatan litigatif senantiasa dikemukakan.

Bacaan 7 Menit

Pada konteks demikian, setiap orang yang mencurahkan pikiran, tenaga maupun tindakannya dalam naungan bersama yang bernama Peradi, harus mampu keluar dari ego sektoralnya, sekaligus mampu berdiri bahkan menempatkan diri sebagai bagian dari solusi. Oleh karenanya, setiap insan Peradi dalam mewujudkan eksistensi keorganisasiannya diartikan mampu menjadi insan yang berdiri sebagai diri sendiri yang mandiri dengan kemampuan keluar dari dirinya yang sempit. Pada konsep demikian, rekan-rekan Peradi harus menyadari bahwa dirinya ada di dalam wadah tunggal (single bar system) yang harus dijaga eksistensinya.

Pada kulminasi demikian, ketika filsafat eksistensialisme demikian digunakan untuk membedah kondisi Peradi pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021, maka yang diperlukan adalah pengelolaan Peradi dengan sifat humanistis. Oleh karenanya, konsep bereksistensi harus diartikan secara dinamis dengan penghormatan yang tinggi atas hasil curah pemikiran bersama.

Meminjam ungkapan Martin Heidegger (1889-1976), bahwa dalam kesibukan dan kecintaan untuk memelihara, sesungguhnya manusia merasa cemas akan ketiadaan karena ketiadaan ini mengancam yang ada. Kematian ini adalah akhir yang selalu hadir, maka eksistensi manusia adalah eksistensi yang menuju kepada kematian. Ungkapan Heidgger tersebut tentu berlaku sama bagi Peradi sebagai suatu organisasi profesi yang eksis. Potensi dan risiko suatu organisasi profesi sebagai wadah tunggal yang mewujudkan single bar system tentu saja berpeluang juga akan menemui kondisi ‘kematian’ ketika solusi atas perpecahan tidak ditemukan.

Sama halnya ketika mencermati pandangan Karl Jaspers (1883-1969) yang memberi tekanan pada pengalaman saling pertentangan dalam eksistensi yang sulit didamaikan. Sebagaimana diketahui, Peradi sebagai satu-satunya organisasi profesi advokat yang diamanahi menjadi wadah tunggal (single bar system) oleh undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi, justru menghadapi beragam tantangan dalam menjalankan singlebar system. Dapat dicermati bahwa hingga saat ini setidaknya terdapat tiga kubu kepengurusan yang mengaku sebagai pengurus organisasi Peradi yang memiliki legitimasi dan sah.

Semestinya, pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021 dan apabila mengacu kepada eksistensi single barsystem yang sudah ditetapkan dalam UU Advokat maupun putusan Mahkamah Konstitusi, maka tidak ada dualisme kepengurusan dalam tubuh Peradi kecuali kepengurusan tunggal sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021.

Eksistensi keorganisasian Peradi inilah yang agaknya masih mengandung sesuatu yang belum tuntas didamaikan ketika pendekatan litigatif senantiasa dikemukakan, sehingga agaknya memunculkan hal-hal yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Padahal tentu semua eksponen Peradi diyakini berkeinginan memajukan organisasi sekaligus meninggikan setiap insan pengemban profesi advokat di dalamnya. Oleh karenanya, meskipun keorganisasian maupun kelembagaan Peradi tidak luput dari sifat-sifat hakiki eksistensi, lebih-lebih yang dialami dalam situasi perbatasan yang tidak dapat dihindari yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.

Jean Paul Sartre (1905-1980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain ditentukan bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri, bahkan dikatakan "Man is nothing else but what he makes of himself". Maka manusia itu bebas dalam arti yang sebenarnya, ia menciptakan masa depannya dan karena itu ia bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan.

Tags:

Berita Terkait