Terus Tingkatkan Kualitas Anggota, Peradi Gandeng PPHBI
Pojok PERADI

Terus Tingkatkan Kualitas Anggota, Peradi Gandeng PPHBI

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menandatangani perjanjian kerja sama Pendidikan Hukum Berkelanjutan dengan Pusat Pengembangan Hukum Bisnis Indonesia (PPHBI).

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Perjanjian kerja sama ditandatangani oleh Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan dan Chief Executive Officer PPHBI, Andrew Betlehn. Foto: istimewa.
Perjanjian kerja sama ditandatangani oleh Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan dan Chief Executive Officer PPHBI, Andrew Betlehn. Foto: istimewa.

Kamis (15/3), Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) baru saja menjalin kerja sama Pendidikan Hukum Berkelanjutan dengan Pusat Pengembangan Hukum Bisnis Indonesia (PPHBI). Disaksikan oleh jajaran pengurus Peradi (Sekjen DPN Peradi, Hermansyah Dulaimi; Waketum DPN Peradi, Happy SP Sihombing; serta Ketua Bidang Pendidikan Berkelanjutan DPN Peradi, Hendronoto Soesabdo) juga perwakilan PPHBI (Founder, Dhaniswara Harjono; Operational Manager, Leonard Lembong; dan Research Manager, Aidhya Diory) perjanjian kerja sama ditandatangani oleh Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan dan Chief Executive Officer PPHBI, Andrew Betlehn.

 

Otto Hasibuan menyampaikan, pandemi Covid yang melanda hampir seluruh negara dunia mengakibatkan berbagai kegiatan, termasuk pendidikan harus dilakukan secara daring. Tidak menutup  kemungkinan, kondisi ini dapat membuat kampus-kampus besar dunia kosong; karena secara aktivitas maupun kegiatan belajar dilakukan secara online.

 

Meski pada satu sisi, usai berakhirnya pandemi Covid-19 banyak orang berharap agar metode pendidikan segera beralih ke tatap muka; Otto memandang pendidikan daring tetap perlu dilanjutkan. Apalagi, jauh sebelum pandemi, sudah ada sekitar sebelas universitas yang mengadakan pendidikan daring.

 

Menurutnya Otto, ada sejumlah alasan praktis yang mengakibatkan model pendidikan ini terus dilangsungkan. Ini meliputi efisiensi waktu (tidak perlu meluangkan waktu untuk proses perjalanan dari rumah ke kampus) dan biaya (contoh: biaya kertas hingga investasi pembangunan kampus). 

 

“Bagi kampus, dia tidak perlu lagi membeli lahan yang besar. Tidak perlu support yang begitu besar. Kita lihat Universitas Harvard yang besar, besok tidak perlu lagi (kampus), cukup ruang seperti ini (aula) menjadi sebuah kampus. Bayangkan, bukan tidak mungkin ini terjadi,” ujar Otto.

 

Sebagaimana Cambridge University, hal yang sama juga dapat berlaku di kampus-kampus Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan lain sebagainya; karena untuk menjalankan kegiatan belajar-mengajar, cukup membangun sistem pendidikan berbasis teknologi.

 

“Jadi nanti semua hanya jadi monumen saja itu kampus, hanya jadi gedung-gedung kosong. Ini tantangan yang sangat besar sekali di dalam peradaban dan pendidikan kita kemudian,” Otto menambahkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait