Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Merevisi UU Pembentukan Peraturan
Utama

Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Merevisi UU Pembentukan Peraturan

Pemerintah dan DPR harus menjadikan putusan MK sebagai momentum dalam perbaikan tata kelola pembentukan peraturan perundangan menyeluruh, tidak hanya sekedar memasukan metode omnibus law.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil terhadap UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil, sehingga pembentuk UU diperintahkan memperbaiki prosedur pembentukan UU 11/2020. Karena itu, sebagai langkah awal DPR bakal merevisi UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah melalui UU No.15 Tahun 2019.

“Kita akan merevisi UU 12/2011, nanti kita akan normakan metode omnibus law,” ujar eks Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sekaligus anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Senin (29/11/2021) kemarin.

Dia mengatakan dengan dimasukannya metode omnibus law dalam revisi UU 12/2011 agar penerapan metode tersebut menjadi konstitusional dalam setiap pembuatan UU. Sebab, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan pembentuk UU untuk merevisi UU 12/2011 dengan memasukkan metode omnibus law. Selanjutnya, pemerintah tinggal menjalankan perbaikan prosedur formil yang ditetapkan dan perbaikan materil dalam revisi UU 11/2020 sebagaimana amanat putusan MK.

Politisi Partai Golkar itu menerangkan dalam waktu dekat pada bulan Desember 2021 ini bakal disusun daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 jangka panjang dan menengah. Nah, revisi terhadap UU 12/2011 dan UU 11/2020 direncanakan bakal masuk dalam daftar Prolegnas Priotas 2022 dengan kesepakatan dari pemerintah, DPR dan DPD. “Kalau DPR untuk merevisi UU 12/2011 dan pemerintah nanti akan menyesuaikan terhadap amar putusan MK tentang apa yang harus disempurnakan,” ujar anggota Komisi IV DPR itu.

Terpisah, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Nur Sholikin mengatakan menindaklanjuti Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 melalui revisi UU 12/2011 dan UU Cipta Kerja seharusnya tidak dilakukan secara bersamaan. Dia berpendapat pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu menyelesaikan revisi UU 12/2011 sebelum memulai tahapan revisi UU 11/2020.

Langkah itu perlu dilakukan agar pembentukan sebuah RUU bisa menggunakan pendekatan metode omnibus law yang mengacu pada prosedur yang diatur dalam UU. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengundangan. “Maka perencanaan revisi UU Cipta Kerja juga harus dilakukan mengacu pada prosedur tersebut,” ujarnya. (Baca Juga: Pembentuk UU Diminta Perbaiki Substansi UU Cipta Kerja dari Awal)

Sholikin mengingatkan dengan mendahulukan revisi terhadap UU 12/2011 yang sebelumnya telah diubah dengan UU 15/2019, pemerintah tidak terburu-buru. “Pemerintah harus mengedepankan beberapa asas, seperti asas kehati-hatian, transparan, dan partisipatif dengan melibatkan para pemangku kepentingan."

Ada tiga hal yang harus diperhatikan DPR dan pemerintah dalam upaya merevisi UU 12/2011. Pertama, pemerintah dan DPR harus cermat dalam membahas prosedur pembentukan UU dengan pendekatan omnibus law. Terdapat banyak hal yang harus dievaluasi dari pembentukan UU 11/2020 dengan menggunakan pendekatan dan metode omnibus law.

Seperti aspek prosedur dan tata cara pembentukannya. Kemudian tahap-tahapannya hingga pembahasan termasuk jangkauan materi muatannya. Begitupula teknik/format naskah peraturan perundang-undangan, jenis peraturan yang dapat disusun menggunakan pendekatan ini. Termasuk pula kementerian/lembaga yang dapat mengkoordinasi dan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.

Kedua, revisi UU 12/2011 semestinya dilihat sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara komprehensif. Artinya, revisi seharusnya mengatur materi lain yang diperlukan dalam mendukung tata kelola regulasi. Seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan.  

Dia menilai bila revisi UU 12/2011 dilakukan hanya ingin mengatur soal omnibus law, maka tidak akan terjadi perbaikan secara menyeluruh tata kelola peraturan perundang-undangan. Dia khawatir bila hanya ingin memasukkan omnibus law bakal bernasib sama seperti UU No.15 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU 12/2011 sebelumnya.  

Ketiga, Pemerintah dan DPR harus melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dalam menyusun revisi UU 12/2011. Sebab, dalam Pasal 96 UU 12/2011 mengatur partispasi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Untuk itu, Pemerintah dan DPR, semestinya memanfaatkan putusan MK sebagai momentum dalam upaya perbaikan mekanisme tata kelola pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan hanya mengatur prosedur pembahasan metode omnibus law. “Jangan sampai Pemerintah dan DPR memanfaatkan putusan MK ini hanya mengatur prosedur omnibus law sembarangan. Apalagi sekedar mengukuhkan praktik buruk proses pembentukan UU Cipta Kerja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait