UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan
Kolom

UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan

Perubahan positif dalam UU Keimigrasian bukan merupakan inisiatif Pemerintah, melainkan hasil sebuah proses politik.

Bacaan 2 Menit

 

Dialog intensif dan mesra antar pemimpin kedua negara sejak bulan Maret tahun lalu, telah mendorong Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, untuk segera merampungkan revisi UU Keimigrasian yang baru. Di samping isu keamanaan regional tersebut, sebenarnya juga terdapat isu institusional yang didorong dari dalam Ditjen Imigrasi sendiri, yaitu apa yang kemudian muncul dalam UU Keimigrasian sebagai sistem informasi dan manajemen keimigrasian.

 

Menurut hemat penulis, akar permasalahan tersebut bukan hanya terkait permasalahan keimigrasian saja. Rivalitas antara institusi Kepolisian dengan Ditjen Imigrasi terkait pengawasan orang asing, misalnya, bisa saja dibandingkan dengan rivalitas antara BPN dengan Departemen Kehutanan terkait penentuan status tanah. Ada benturan kewenangan antar dua lembaga yang harus diselesaikan dengan sebuah peraturan yang akan mengikat keduanya. Permasalahan kelembagaan ini mungkin bisa jadi cerita tersendiri lain waktu.

 

Pendeknya, diuntungkan oleh dibukanya kembali proses pembahasan RUU Imigrasi ini, barulah organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran di Indonesia melihat adanya peluang untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

 

Tidak banyak tersentuh oleh perdebatan akademis ataupun praktik hukum di Indonesia, UU No 9/1992 tentang Keimigrasian meninggalkan permasalahan pengaturan yang (kemudian) berbenturan dengan semangat reformasi yang lahir sesudahnya. Pasal 8 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas menyebutkan bahwa aturan yang terkait dengan (pembatasan) hak dasar, harus diatur dalam undang-undang. Begitu pula halnya dengan aturan mengenai visa atau izin tinggal yang membatasi hak seseorang untuk berpindah atau menetap.

 

Terkait hal tersebut, UU No 9/1992 ternyata tidak mengaturnya secara tegas, dan membuka ruang delegasi yang sangat besar pada level peraturan di bawahnya. Akibatnya, pengaturan terkait visa dan izin tinggal yang jelas mengakibatkan pembatasan hak dasar seseorang hanya diatur dalam peraturan-peraturan di bawahnya. Presiden, atau bahkan Menteri, dapat mengeluarkan peraturan yang membatasi hak dasar seseorang.

 

Prinsip demokrasi berangkat dari asumsi bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat yang juga berarti bahwa dalam suatu sistem pemerintahan yang demokratis, posisi setiap orang seharusnya diasumsikan setara. Yang bisa mengatur rakyat dengan membatasi atau mengurangi hak mereka pada dasarnya adalah mereka sendiri. Karenanya pula, parlemen (lembaga perwakilan rakyat) dalam suatu pemerintahan yang demokratis memegang posisi kunci dalam penentuan kebijakan. Setidaknya, dalam asumsi paling ideal, mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat itulah para wakil seluruh rakyat Indonesia.

 

Hal ini berarti, prinsip pengaturan yang secara hukum dituangkan ke dalam Pasal 8 UU No 10/2004 tersebut, merupakan aspek fundamental dalam demokrasi. Diikuti atau tidaknya aturan tersebut, nantinya akan menentukan berjalan atau tidaknya negara hukum. Dan ini sebenarnya bukan permasalahan yang hanya ditemui dalam UU No 9/1992 saja.

Halaman Selanjutnya:
Tags: