UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan
Kolom

UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan

Perubahan positif dalam UU Keimigrasian bukan merupakan inisiatif Pemerintah, melainkan hasil sebuah proses politik.

Bacaan 2 Menit

 

Tentu, bisa saja kita pertanyakan lagi, mengapa prinsip ini harus dianggap penting. Apa pentingnya suatu permasalahan diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri? Bukankah dengan mengatur dengan peraturan yang lebih rendah, maka secara praktis akan lebih mudah diadakan revisi apabila nantinya diperlukan?

 

Sehubungan dengan visa dan izin tinggal, keluarga perkawinan campuran secara langsung telah merasakan imbas dari ketidakjelasan pengaturan dalam UU No 9/1992 tersebut. Pada praktiknya, tercipta ketidakpastian terkait status hukum anggota keluarga berkewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia. Selain anggota keluarga berkewarganegaraan asing ini tidak mendapat kejelasan untuk dapat tinggal menetap di Indonesia, anggota keluarga berkewarganegaraan asing juga selalu dianggap sama dengan orang asing pemegang visa kerja (tenaga kerja asing), di mana pemberi kerjanya harus memiliki izin kerja untuk mempekerjakan.

 

Dalam banyak kasus, situasi di mana salah satu pasangan mendapatkan hambatan untuk bekerja, juga menghalangi keluarga perkawinan campuran untuk tinggal di Indonesia. Selain itu, kehidupan keluarga mereka menjadi sangat tergantung pada diskresi pejabat imigrasi. Meskipun tidak selalu berakhir buruk, namun ketidakpastian yang ditimbulkan telah menjadi momok bagi kehidupan berumah tangga.

 

Permasalahan di atas pula yang kemudian mendorong organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran untuk terlibat dalam proses pembahasan RUU Keimigrasian. Dalam suatu proses yang naik turun dan berliku, organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran mengorganisir diri, menyusun konsep ideal, serta mendekati para anggota dewan, maupun pejabat-pejabat pemerintah terkait.

 

Puncaknya, ketika Ketua Panja RUU Keimigrasian, Fahri Hamzah, pada akhir tahun lalu secara tegas memberikan sinyal kepada Pemerintah untuk segera membenahi isi undang-undang tersebut agar sesuai dengan aspek-aspek kemanusiaan. Sejak saat itu, maka perdebatan mengenai isi RUU Keimigrasian terkait status hukum anggota keluarga berkewarganegaraan asing benar-benar dibuka kembali. Dengan kata lain, aspirasi para anggota keluarga perkawinan campuran yang belum diakomodir dalam RUU yang diajukan saat itu, harus segera dipertimbangkan untuk dimasukkan.

 

Apa saja poin-poin tuntutan yang mengemuka? Pertama, ada kategorisasi pemberian visa sesuai dengan maksud dan kedatangan orang asing ke Indonesia, berikut pengaturan yang jelas terkait visa yang diberikan kepada anggota keluarga perkawinan campuran. Kedua, diakuinya izin tinggal tetap bagi anggota keluarga perkawinan campuran. Dalam praktiknya tak jarang pasangan warga negara asing, meskipun telah menetap belasan bahkan puluhan tahun di Indonesia, tetap harus memperpanjang izin tinggalnya berdasarkan jaminan dari pasangan WNI-nya. Jika pasangan WNI-nya meninggal, misalnya, maka status hukum warga negara asing tersebut menjadi tidak pasti. 

 

Ketiga, langsung diberikannya izin tinggal tetap kepada anggota keluarga perkawinan campuran. Hal ini erat kaitannya dengan pemberlakuan kewarganegaraan ganda pada anak perkawinan campuran yang hanya berlaku hingga usia 21 tahun. Akibatnya, seorang anak yang sepanjang hidupnya tinggal di Indonesia, tetapi kemudian memilih kewarganegaraan asing tetapi tetap menetap di Indonesia, akan diperlakukan sebagaimana layaknya orang asing yang baru masuk ke Indonesia. Kemudian yang terakhir, keluarga perkawinan campuran diberikan kesempatan yang sama dengan penduduk Indonesia lainnya untuk mencari nafkah.

Tags: