Bentuk kekerasan seksual antara lain percobaan atau upaya pemerkosaan, kekerasan berbasis gender secara online, pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pembuatan video, pemerasan, kekerasan fisik dan psikis, serta gang rape. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bentuknya penelantaran rumah tangga, kekerasan fisik, menikah tanpa izin istri, kekerasan psikis, eksploitasi anak, dan kekerasan fisik terhadap anak.
“Dari 189 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kami menemukan proses hukum itu tidak berpihak pada korban,” kata Zainal.
Selain hukum tidak berpihak pada korban, Zainal menyebut korban juga minim mengakses ruang aman. Tantangan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yakni korban tidak berani untuk berbicara. Zainal menyoroti beberapa kasus, seperti 3 anak korban pemerkosaan di Luwu Timur; Polrestabes Makassar memfasilitasi pencabutan laporan polisi di 2 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas.
“Restorative justice digunakan sebagai dalih mencabut berkas laporan polisi.”
Zainal juga menyoroti rendahnya hukuman pada terdakwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Misalnya, pelaku KDRT yang merupakan komisioner KPID Jawa Tengah hanya mendapat tuntutan dan vonis yang rendah hanya 4 bulan penjara. Dari berbagai kasus yang ditangani LBH, dapat disimpulkan korban kekerasan terhadap perempuan sulit mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang adil.
Oleh karena itu, Zainal mengusulkan pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). RUU itu penting dan relevan terus didorong untuk memudahkan korban mendapat keadilan “Selain itu penting juga memastikan penegakan hukum memiliki perspektif pada perlindungan terhadap korban,” katanya.