Teknologi Jadi Tantangan Profesi Hukum di Masa Mendatang
Berita

Teknologi Jadi Tantangan Profesi Hukum di Masa Mendatang

Di Amerika Serikat, posisi sarjana hukum baru di firma hukum sudah mulai digantikan dengan robot bernama ROSS.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
(Dari Kiri ke kanan) Chandra M Hamzah, Inayah Assegaf, Yunus Husein, Haris Azhar saat menjadi pembicara di acara Open House IJSL, Jakarta, Jumat (24/6). Foto: RES
(Dari Kiri ke kanan) Chandra M Hamzah, Inayah Assegaf, Yunus Husein, Haris Azhar saat menjadi pembicara di acara Open House IJSL, Jakarta, Jumat (24/6). Foto: RES
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi pun semakin melesat. Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Inayah Assegaf, mengatakan bahwa kemajuan teknologi ini menjadi satu tantangan sendiri bagi pengemban profesi hukum ke depannya.

Inayah percaya bahwa peran dan posisi sarjana hukum di Indonesia dapat digantikan oleh kecerdasan artifisial yang dimiliki oleh kecanggihan mesin seperti robot atau aplikasi. Keyakinan Inayah ini bukannya tanpa alasan. Bulan Mei 2016 lalu, sebuah law firm yang terletak di Washington, Amerika Serikat, Baker Hostetler sudah mulai menggunakan keterampilan robot untuk membantu menyelesaikan perkara kepailitan.

Dikutip dari The Washington Post, Baker Hostetler telah mengumumkan kepada publik bahwa mereka merekrut sebuah robot yang kemudian dikenal dengan nama ROSS. ROSS bergabung bersama dengan 50 lawyer yang khusus menangani perkara kepailitan di firma tersebut.

ROSS berguna sebagai peneliti hukum yang bertanggung jawab untuk memilah dan memilih dokumen-dokumen hukum yang diperlukan dalam kasus. “Peran ini biasa dilakukan oleh sarjana hukum yang baru memasuki dunia kerja dan baru saja memulai karier mereka,” begitu ditulis dalam artikel yang dimuat pada Senin (16/5).

Lebih lanjut Chief Excecutive ROSS Inteligence, Andrew Arruda, mengatakan bahwa ROSS dapat memahami interaksi yang dilakukan oleh rekannya. ROSS dapat diperintahkan untuk memberikan hipotesis dalam suatu kasus atau menjawab pertanyaan seputar hipotesis tersebut.

Sebelumnya, hukumonline juga pernah membahas mengenai teknologi dalam hubungannya dengan kerja-kerja lawyer. Ada teknologi yang memungkin lawyer memprediksi kemenangan kasus, ada juga teknologi dalam bentuk aplikasi yang dapat membantu mempermudah lawyer untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari.

Melihat fenomena ini, Inayah sampai pada kesimpulan bahwa perekrut ke depan akan berpikir secara praktis. Alasannya, daripada perekrut mempekerjakan orang untuk menelisik sekian kasus, pasal, dan perundang-undangan, tentunya pekerjaan tersebut akan jauh lebih baik dilakukan oleh mesin.

“Nah, kita harus punya nilai lebih. Kita kembangkan pola pikir yang kritis, kembangkan skill. Kalau kita tidak ada nilai tambah, bisanya hanya mengutip pasal atau mengungkapkan apa yang ada di undang-undang, tentunya posisi kita akan tergantikan oleh mesin,” ujar perempuan yang juga dikenal sebagai peneliti hukum ini dalam talkshow yang berlangsung di acara Open House STHI Jentera, Jumat (24/6).

Menjaga Integritas
Sesuai dengan tema talkshow sore itu, yaitu ‘Jentera dan Tantangan Profesi Hukum’, Inayah menyebutkan bahwa tantangan lain bagi orang yang bekerja di dunia hukum adalah menjaga integritas. Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M Hamzah pun mengamini hal tersebut.

“Banyak sekarang yang akhirnya kompromi terhadap permintaan dari pasar. Kita bisa lihat ada berapa banyak pengacara yang kena (tertangkap), berapa banyak hakim yang kena, berapa banyak penegak hukum yang kena. Mereka itu bukannya ngga ngerti bahwa itu salah, tapi mereka memilih jalan kompromi dan kompromi itu lama-lama dianggap sebagai kebenaran,” kata Chandra.

Untuk menjaga integritas ini, Chandra menyarankan agar praktisi hukum bisa menciptakan komunitas, di mana mereka berani untuk konsisten dan ‘ngeyel’ menolak permintaan pasar. “Karena akan susah melakukan itu sendirian, makanya ingkungan mesti dijaga dan pengetahuan pun mesti ditingkatkan,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait