Mungkin tak ada orang yang menginginkan dirinya masuk perangkap pidana karena ciutan atau postingan di media sosial. Tetapi perangkap itu selalu terbuka untuk menjerat siapa saja, tak peduli pekerjan atau latar belakang Anda. Perangkap itu bisa tiba-tiba dimasuki orang yang sedang menjabat di kekuasaan, bisa pula oleh anak remaja yang iseng membuat status di facebook, bahkan bisa jadi oleh seseorang yang mengomentari ciutan pesohor.
Penggunaan media sosial tak lagi sepenuhnya berstatus kebutuhan tersier. Di kawasan perkotaan hingga ke pedesaan ratusan juta orang di Indonesia punya gawai, sebagian besar di antaranya menggunakan fasilitas media sosial seperti facebook, instagram, atau twitter. Mereka mengeluarkan uneg-uneg, sikap politik, pernyataan dukungan, curahan hati (curhat), bertransaksi, hingga membuat postingan yang menyerang orang lain.
Ironisnya, tak semua orang yang berselancar di jagat maya dan berkomunikasi di medsos memahami betul rambu-rambunya. Ada yang menggunakan medsos sebagai sarana melakukan kejahatan; lain halnya sebagian lain menggunaan perangkat tekonologi untuk tujuan kebaikan. Begitulah teknologi berkembang: menampilkan dua sisi dalam satu keping luang logam. Tinggal bagaimana kita menggunakan dan mengendalikan diri untuk tidak masuk perangkap hukum jagat maya. Makanya ada adagium: ‘mulutmu harimaumu’, yang kini diubah menjadi ‘gadgetmu harimaumu’.
(Baca juga: Inilah Aturan dan Etika Bermedia Sosial ‘Gadgetmu Harimaumu’)
Salah satu perangkap yang telah banyak menjerat banyak orang adalah perangkap pidana. Puluhan orang di Indonesia harus berhadapan dengan aparat penegak hukum hanya karena postingan di medsos. Ada yang terjerat pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan ada yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sebenarnya, sudah banyak buku dan panduan yang diterbitkan, termasuk panduan berinternet sehat. Tetapi tak sedikit pula yang terus melakukan kajian, mendokumentasikan kajian itu, lalu menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat. Mengapa? Ternyata, hingga kini penggunaan medsos kian berkembang, dan makin banyak rambu yang harus dipenuhi. Jika dulu, medsos sekadar konsumsi pertemanan, kini ciutan di twitter atau postingan di laman facebook sudah sering dikutip orang untuk konsumsi publik melalui pemberitaan.
Salah satu kajian terbaru yang relevan dengan itu adalah ‘Pidana Pemberitaan Media Sosial’ karya Nynda Fatmawati Octarina. Buku ini sebenarnya berasal dari disertasi yang disusun Nynda dan dipertahankan perempuan kelahiran 29 Oktober 1977 itu di hadapan Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis berangkat dari situasi dimana perkembangan teknologi informasi telah memunculkan beragam persoalan yang juga menyangkut aspek hukum.
Judul buku | Pidana Pemberitaan Media Sosial |
Penulis | Nynda Fatmawati Octarina |
Cet-1 | Februari 2018 |
Penerbit | Setara Press, Malang |
Ukuran | 15,5 x 23 cm; 262 hal + xxvii |