Ini Penyebab Tingginya Calon Tunggal dalam Pilkada
Berita

Ini Penyebab Tingginya Calon Tunggal dalam Pilkada

Mulai belum adanya sistem rekruitmen politik yang mapan dan demokratis, hingga tingginya syarat dukungan calon perseorangan. Banyaknya calon tunggal dalam Pilkada 2020 ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak bakal digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. Beragam pasangan calon kepala daerah sudah bermunculan dalam beberapa pekan terakhir untuk memperebutkan kursi nomor di masing-masing daerah kabupaten/kota dan provinsi. Namun, tak sedikit daerah hanya memiliki calon tunggal yang berujung bakal melawan kotak kosong. Lantas, apa penyebab minimnya calon pemimpin daerah di beberapa daerah?

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhil Ramadhani menilai maraknya calon tunggal dalam Pilkada 9 Desember 2020 mendatang menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Menurutnya, permasalahan minimnya calon pasangan kepala daerah dalam Pilkada penyebabnya sistemik.

Pertama, partai politik belum memiliki sistem rekrutmen politik yang mapan dan demokratis. Alhasil, pencalonan dalam kandidasi politik, seperti Pilkada hanya bersifat pragmatis, jangka pendek. Kedua, ketentuan ambang batas pencalonan dalam Pilkada memberikan sumbangsih yang besar.

Sebab, angka 20 persen kursi dan 25 persen suara justru “memenjarakan” partai politik dan mematikan inisiatif dalam melahirkan figur-figur baru untuk maju dalam pencalonan. Ketiga, tingginya syarat dukungan dalam pencalonan perseorangan. Menurutnya, persoalan tersebut membuat jalur alternatif dalam pencalonan menjadi tidak produktif. Kata lain, banyak orang yang gagal dan terbebani dengan syarat-syarat yang berat.

“Menurut saya fenomena calon tunggal ini tidak disebabkan oleh problem tunggal,” ujar Fadhil Ramadhani saat berbincang kepada Hukumonline, Selasa (11/8/2020). (Baca Juga: Ini Arahan Presiden Soal Pelaksanaan di Masa Pandemi)

Menurutnya, fenomena calon tunggal menjadi tanda bahaya esensi mendasar kehidupan demokrasi dalam kontestasi yang sehat dan fair untuk mendapatkan figur-figur yang mumpuni, berintegritas, dan memiliki kapabilitas yang baik sebagai pemimpin daerah. “Tanpa figur calon lebih dari satu, menjadikan pemilih apatis,” katanya.

Senada, Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus menilai banyaknya calon tunggal dalam Pilkada di 31 daerah menjadi preseden buruk dalam demokrasi. Pasalnya dengan hanya calon tunggal membuktikan gagalnya pendidikan politik di alam demokrasi. Sebagai pertarungan ide dan gagasan dalam perhelatan pesta demokrasi pilkada, idealnya memang terdapat sejumlah calon kepala daerah.

Tags:

Berita Terkait