Saya ada kasus terkait Magersari antara A (sudah meninggal) dan B (masih hidup tetapi hilang akal). A punya rumah yang kemudian rumah itu ditempati oleh B sejak 1995. Berdasarkan kesepakatan lisan, B diperbolehkan untuk membangun dan mengelola rumah itu seperti rumahnya sendiri. Sebelum hilang akal, B ini hendak menjual rumah yang ia tempati, padahal sertifikatnya atas nama A (belum dibagi waris), sayangnya anak-anak dari A tidak mau memberikan rumah ini. Setelah B kena sakit hilang akal, anak-anaknya B lalu menawarkan diri untuk membeli rumah tersebut, namun anak-anak A tetap tidak mau. Apa yang bisa dilakukan B?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Magersari didefinisikan sebagai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain. Dalam praktik, magersari tidak dikenakan uang sewa tanah.
Meski demikian, untuk membuktikan kepemilikan, pemegang hak harus mempunyai sertifikat hak atas tanah. Sehingga dalam kasus Anda, pemilik atas rumah magersari tersebut tetaplah milik A yang sudah meninggal dunia atau milik para ahli warisnya. Lantas, apa yang bisa dilakukan B dan keluarganya jika akan membeli rumah magersari itu?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Kepemilikan seseorang terhadap sebidang tanah dan bangunan didasarkan pada alat bukti hak yaitu sertifikat hak atas tanah. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”):
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Magersari sebagaimana Anda sebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain; orang yang tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu.
Kemudian istilah magersari juga dapat Anda temukan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tanah bukan keprabon yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.
Menyambung pertanyaan Anda, hak seorang untuk menempati rumah yang berdiri di atas bidang tanah yang bukan miliknya seharusnya didasari suatu perjanjian, misalnya perjanjian sewa menyewa atau perjanjian sewa bangun, berdasarkan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
Sehingga menurut hemat kami seharusnya antara A dan B telah dibuat suatu perjanjian. Perjanjian bisa saja dibuat secara lisan, namun pembuktian akan batasan hak dan kewajiban akan menjadi sulit dilakukan.
Namun perlu dicatat meski ada perjanjian, tidak mengakibatkan B menjadi pemilik dari rumah yang selama ini ditempatinya. Yang berhak memiliki hak atas tanah dan bangunan tersebut tetap A maupun ahli warisnya, merujuk pada Pasal 852 KUH Perdata:
Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka … Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, …
Ketentuan tersebut berarti seluruh ahli waris mewarisi dalam bagian yang sama besarnya atau dengan kata lain tidak membedakan ahli waris satu sama lain.
Pembelian Rumah Magersari
Dalam kasus yang Anda ceritakan, apabila anak-anak B hendak membeli rumah itu, mereka hanya dapat membeli dari ahli waris A karena A sudah meninggal dunia. Sementara itu, karena B saat ini dalam keadaan hilang ingatan, maka terhadap B terlebih dahulu harus diangkat seorang pengampu berdasarkan penetapan pengadilan.
Mengenai pengampuan, Anda bisa mengacu Pasal 433 dan Pasal 434 KUH Perdata:
Pasal 433
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.
Pasal 434
Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat.Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
Permintaan pengampuan ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan.[1] Dalam surat permintaan, harus disebutkan secara jelas peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan, disertai bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya.[2]
Maka kesimpulannya, B beserta keluarganya yang selama ini menempati rumah milik A mau tak mau hanya dapat membeli atau melanjutkan persewaan rumah tersebut dengan persetujuan serta kehendak dari para ahli waris A. Dengan demikian, setelah B diletakkan pengampuan dan ahli waris A menyetujuinya, maka jual beli rumah baru bisa dilangsungkan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.