KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Putusan DKPP Menganulir Penetapan Cawapres?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bisakah Putusan DKPP Menganulir Penetapan Cawapres?

Bisakah Putusan DKPP Menganulir Penetapan Cawapres?
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Putusan DKPP Menganulir Penetapan Cawapres?

PERTANYAAN

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kemarin memutuskan ketua KPU dan anggota KPU lainnya melanggar kode etik penyelenggara pemilu buntut dari penerimaan Gibran sebagai cawapres. Apakah putusan DKPP tersebut berimplikasi terhadap pencalonan Gibran sebagai cawapres pada pemilu 2024 ini?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (“DKPP”) adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Pasca Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021, putusan DKPP dianggap sebagai suatu keputusan pejabat TUN sehingga bisa digugat melalui pengadilan tata usaha negara. Maka, putusan DKPP tidak lagi bersifat final dan mengikat.

    Pada prinsipnya, putusan DKPP berimplikasi terhadap penyelenggara pemilu yang bersangkutan secara langsung atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

    Lantas, apakah putusan DKPP, khususnya Putusan DKPP No. 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 bisa menganulir atau membatalkan pasangan calon capres/cawapres?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

     

    KLINIK TERKAIT

    Hukumnya Presiden Memihak dalam Pemilu

    Hukumnya Presiden Memihak dalam Pemilu

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Wewenang DKPP

    Menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan DKPP dan apa peran DKPP, maka dapat dilihat ketentuan dalam UU Pemilu. DKPP adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, merupakan lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.[1] Adapun, yang termasuk penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), dan DKPP sendiri.[2]

    DKPP berwenang untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU provinsi, kabupaten/kota, dan anggota Bawaslu, anggota Bawaslu provinsi, kabupaten/kota.[3]

    DKPP pula yang menyusun dan menetapkan kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu, mulai dari anggota KPU hingga anggota pengawas tempat pemungutan suara (TPS).[4]

    Secara lebih rinci, wewenang DKPP adalah sebagai berikut:[5]

    1. memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
    2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk diminta keterangan, termasuk untuk diminta dokumen atau bukti lain;
    3. memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik; dan
    4. memutus pelanggaran kode etik.

     

    Sifat Putusan DKPP

    Berdasarkan Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu, putusan DKPP final dan mengikat. Namun, pasal tersebut dinyatakan oleh Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, putusan sebagaimana dimaksud ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN (hal. 147 – 148).

    Dengan demikian, putusan DKPP tidak lagi bersifat final dan mengikat karena dianggap sebagai suatu keputusan pejabat TUN sehingga bisa digugat melalui pengadilan tata usaha negara. Namun demikian, atas putusan DKPP tersebut, penyelenggara pemilu wajib untuk melaksanakannya.[6]

     

    Implikasi Putusan DKPP dalam Pemilu

    Untuk menjawab pertanyaan apa implikasi putusan DKPP dalam pemilu, maka terlebih dahulu perlu diketahui mengenai jenis-jenis sanksi yang diterapkan oleh DKPP atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

    Berdasarkan Pasal 458 ayat (11) dan (12) UU Pemilu, putusan DKPP adalah berupa sanksi atau rehabilitasi. Rehabilitasi dilakukan jika amar putusan DKPP menyatakan pengaduan dan/atau laporan tidak terbukti, maka DKPP merehabilitasi teradu dan/atau terlapor.[7]

    Adapun, sanksi diterapkan dalam hal amar putusan DKPP menyatakan teradu dan/atau terlapor terbukti melanggar. Sanksi tersebut berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.[8]

    Sanksi berupa teguran tertulis berupa peringatan, peringatan keras, dan peringatan keras terakhir. Sementara, pemberhentian tetap berupa pemberhentian dari koordinator divisi, jabatan ketua, dan sebagai anggota.[9]

    Sepanjang penelusuran kami, dalam Peraturan DKPP 2/2017 dan Peraturan DKPP 3/2017 beserta perubahannya tidak ada kriteria pelanggaran kode etik seperti apa yang akan dijatuhi sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, ataupun pemberhentian tetap.

    Berdasarkan ketentuan di atas, menurut hemat kami pada prinsipnya, putusan DKPP berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap, berimplikasi terhadap penyelenggara pemilu yang bersangkutan secara langsung atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

     

    Apakah Putusan DKPP Bisa Menganulir Penetapan Capres/Cawapres?

    Lantas, apakah putusan DKPP berdampak pada penetapan capres/cawapres? Secara spesifik dalam kasus yang Anda sampaikan, jika dilihat dalam hasil Putusan DKPP No. 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 dijelaskan bahwa pada tahap pencalonan presiden dan wakil presiden, KPU menggunakan PKPU 19/2023 yang masih mengacu ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebelum Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 (hal. 187).

    Pasca putusan MK tersebut, KPU kemudian menerbitkan surat yang ditujukan kepada pimpinan partai politik peserta pemilu tahun 2024, yang pada pokoknya meminta kepada partai politik untuk memedomani Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dalam tahapan pencalonan presiden/wakil presiden tahun 2024 (hal. 187).

    Selanjutnya, KPU melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah terkait usulan rancangan perubahan PKPU 19/2023 dan pada 3 November 2023, KPU menetapkan dan mengundangkan perubahan PKPU 19/2023 (hal. 187 – 188)

    Menurut DKPP, KPU memiliki kewajiban untuk melaksanakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 sebagai perintah konstitusi. Tindakan KPU menindaklanjuti putusan MK tersebut (dengan menetapkan dan mengundangkan peraturan perubahan PKPU 19/2023) dalam pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024 adalah tindakan yang sesuai dengan konstitusi (hal. 188).

    Namun demikian, menurut DKPP, seharusnya KPU melakukan perubahan peraturan KPU terlebih dahulu, baru kemudian menerbitkan pedoman teknis dan terbukti melanggar kode etik Pasal 11 huruf a dan c, Pasal 15 huruf c, dan Pasal 19 huruf a Peraturan DKPP 2/2017 mengenai prinsip kepastian hukum, prinsip profesionalitas, dan prinsip kepentingan umum (hal. 190 – 191).

    Atas pertimbangan tersebut, maka DKPP memutus menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada ketua dan anggota KPU (hal. 194).

    Berdasarkan pertimbangan dan putusan DKPP di atas, maka putusan DKPP pada dasarnya tidak menganulir atau membatalkan pencalonan capres/cawapres pada pemilu 2024. Artinya, putusan DKPP tersebut tidak berdampak pada penetapan peserta pilpres, melainkan berdampak pada pemberian sanksi teguran tertulis kepada ketua dan anggota KPU.

    Sebagai informasi mengenai proses pembatalan penetapan capres/cawapres, sepanjang penelusuran kami diterangkan dalam Pasal 463 UU Pemilu bahwa apabila terjadi pelanggaran administratif pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (“TSM”), maka KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu melalui keputusan KPU yang dapat berupa sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.[10]

    Namun, patut diperhatikan bahwa pelanggaran administratif pemilu menurut Pasal 460 UU Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, pelanggaran administratif ini tidak termasuk tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik.

    Dengan demikian, menurut hemat kami, selain karena ranah kewenangan DKPP adalah berkaitan dengan putusan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, juga karena pembatalan pasangan capres/cawapres harus melalui keputusan KPU atas tindak lanjut putusan Bawaslu terkait adanya pelanggaran administratif TSM, maka ranah putusan DKPP bukan untuk membatalkan penetapan capres/cawapres.

    Selain itu, Addi Fauzani dosen hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (“FH UII”) sekaligus peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII menegaskan bahwa putusan DKPP tidak dapat menganulir penetapan pencalonan cawapres karena KPU hanya menindaklanjuti putusan MK.

    Lebih lanjut Addi menjelaskan bahwa inti permasalahan yang diputus DKPP adalah fokus menindaklanjuti pengaduan terkait maladministrasi yang dilakukan oleh ketua dan anggota KPU terkait pencalonan capres/cawapres karena KPU tidak segera mengubah dasar syarat pencalonan dalam PKPU 19/2023 untuk disesuaikan dengan putusan MK dan segera melakukan konsultasi dengan DPR. KPU justru malah menyurati pimpinan partai politik bahwa KPU akan menyelenggarakan pemilu berdasarkan putusan MK tersebut. Padahal tindakan menyurati tersebut pada dasarnya bukanlah kewenangan dari KPU.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023;
    2. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum;
    3. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

     

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021;
    2. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.

     

    Catatan:

    Kami telah melakukan wawancara dengan Addi Fauzani, S.H., M.H., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia via Whatsapp pada Selasa, 6 Februari 2024 pukul 16.02 WIB.


    [1] Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)

    [2] Pasal 1 angka 7 UU Pemilu

    [3] Pasal 155 ayat (2) UU Pemilu

    [4] Pasal 157 ayat (1) UU Pemilu

    [5] Pasal 159 ayat (2) UU Pemilu

    [6] Pasal 458 ayat (14) UU Pemilu

    [7] Pasal 37 ayat (5) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum (“Peraturan DKPP 1/2021”)

    [8] Pasal 37 ayat (4) Peraturan DKPP 1/2021

    [9] Pasal 37 ayat (4a) dan (4b) Peraturan DKPP 1/2021

    [10] Pasal 463 ayat (1), (3), dan (4) UU Pemilu

    Tags

    cawapres
    capres

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!