KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Mengubah Harga Barang Pre Order secara Sepihak?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Bolehkah Mengubah Harga Barang Pre Order secara Sepihak?

Bolehkah Mengubah Harga Barang <i>Pre Order</i> secara Sepihak?
Gianto Al Imron, S.H., M.H.Pusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Pusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Mengubah Harga Barang <i>Pre Order</i> secara Sepihak?

PERTANYAAN

Bagaimana jika saya membeli barang kemudian disetujui untuk pre order (dari luar negeri, penjual dari dalam negeri) pada bulan Juni 2023 kemudian terbit invoice langsung dilunasi invoice tersebut. Namun, pada bulan Agustus 2023 (janji barang dikirim dari Jakarta) diinformasikan bahwa ada kesalahan input harga jual barang yang dari Rp1,3 juta menjadi Rp15 juta. Akan tetapi pada rentang waktu dari Juni sampai Agustus tersebut tidak ada informasi apapun terkait harga yang berubah. Langkah apa yang dapat kami tempuh guna penyelesaian masalah tersebut? Aturan hukum apa yang sesuai dengan permasalahan kami? Terhadap harga yang berubah tersebut apakah kami meminta dikembalikan saja uangnya karena harga berubah tanpa pemberitahuan atau kami cukup meminta dikirimkan barangnya sesuai harga awal karena kesalahan bukan di pihak konsumen akan tetapi dipihak penjual?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sistem pre order (“PO”) merupakan bentuk transaksi produk yang belum diproduksi atau belum tersedia. PO juga dapat diartikan sebagai pemesanan suatu produk atau barang.

    Sistem PO tergolong sebagai suatu bentuk perjanjian jual beli yang bersifat timbal balik dimana para pihak (penjual dan pembeli) saling terikat secara timbal balik untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Perjanjian jual beli lahir berdasarkan kehendak para pihak tentang barang dan harga. Lantas, bagaimana hukumnya jika penjual mengubah harga barang PO secara sepihak?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Sistem Pre Order

    Menurut Cambridge Dictionary, pre order berarti to order (=request to buy) a product before it has become available; an act of ordering order (=request to buy) a product before it has become available.

    KLINIK TERKAIT

    Bagaimana Membuktikan Perjanjian Tak Tertulis di Pengadilan?

      Bagaimana Membuktikan Perjanjian Tak Tertulis di Pengadilan?

    Berdasarkan pengertian di atas, sistem pre order (“PO”) merupakan bentuk pembelian atau transaksi produk atau barang yang belum diproduksi atau belum tersedia. Dalam model pembelian produk atau barang secara PO, lazimnya penjual melakukan penawaran (offerte) barang melalui toko (umumnya toko online) dengan memberikan contoh, gambar, dan spesifikasi barang serta harganya. Selanjutnya konsumen (pembeli) yang berminat terhadap barang yang ditawarkan penjual akan melakukan penerimaan (acceptatie/accoord) atas penawaran.

    PO juga dapat diartikan sebagai pemesanan suatu produk atau barang. Menurut hemat kami, secara umum PO juga mengandung makna sebagai transaksi jual beli yang umumnya dilakukan secara online, dimana pembeli melakukan pemesanan di awal penjualan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Melalui sistem PO, jual beli dapat dilakukan secara lebih praktis dan efisien karena memungkinkan pelaku usaha menawarkan berbagai produk atau barang sesuai dengan jumlah yang dipesan konsumen (pembeli). Pola ini dapat mengurangi jumlah produk yang tidak terjual karena pelaku usaha memproduksi barang sesuai pesanan konsumen, bahkan waktu penyerahan barang juga bisa diatur sesuai keadaan. Sebaliknya, konsumen juga dapat memesan produk sesuai kriteria yang dikehendaki.

    Sistem Pre Order sebagai Perjanjian Jual Beli

    Untuk mengetahui pengertian dan unsur dalam perjanjian jual beli, maka dapat Anda simak ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

    Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

    Pasal 1457 KUH Perdata tersebut menjelaskan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan (perjanjian) yang mengikat pihak penjual untuk menyerahkan sesuatu barang/benda dan pihak lain (pembeli) membayar harga. Berdasarkan pengertian perjanjian jual beli tersebut, maka perjanjian jual beli yang telah disepakati akan melahirkan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang dan kewajiban pembeli untuk membayar harganya.[1] 

    Perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian khusus (perjanjian bernama) yang diatur dalam KUH Perdata dan tergolong sebagai perjanjian yang bersifat dua pihak atau disebut dengan perjanjian timbal balik.

    Jual beli termasuk jenis perjanjian yang bersifat timbal balik karena para pihak (penjual dan pembeli) saling terikat secara timbal balik untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Penjual terikat untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pembeli terikat melakukan pembayaran sejumlah uang sebagai harga atau imbalan (kontra prestasi) dari perolehan hak milik atas barang tersebut. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata itu juga dapat dipahami bahwa sebagai suatu perjanjian, jual beli harus mencakup empat unsur, yaitu penjual, pembeli, barang, dan harga.

    Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, lahirnya suatu perjanjian jual beli adalah cukup dengan adanya kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Lebih lanjut, dalam Pasal 1458 KUH Perdata dijelaskan bahwa perjanjian jual beli itu telah lahir seketika sejak penjual dan pembeli saling sepakat mengenai barang dan harga meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar.

    Ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata tersebut menjadi bukti bahwa perjanjian jual beli itu merupakan perjanjian yang bersifat obligatoir, yaitu suatu perjanjian yang melahirkan kewajiban bagi para pihak. Kesepakatan penjual dan pembeli mengenai barang dan harga sudah cukup untuk menjadi dasar keterikatan mereka yang untuk selanjutnya menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing.

    Baca juga: Macam-Macam Perjanjian dan Syarat Sahnya

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kami sampaikan bahwa barang dan harga merupakan unsur pokok dan esensial dalam perjanjian jual beli. Terciptanya kesepakatan penjual dan pembeli terhadap barang dan harga merupakan titik tolak penentu lahirnya perjanjian jual beli. Hanya dengan kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga sudah cukup untuk melahirkan suatu perjanjian jual beli. Begitu para pihak, yaitu penjual dan pembeli, menyepakati barang dan harga, maka perjanjian jual beli secara sah telah lahir.

    Dengan demikian, dalam perjanjian jual beli juga berlaku asas konsensualisme sebagaimana terkandung dalam ketentuan Pasal 1320, 1338 jo. 1458 KUH Perdata.

    Konsensualisme berasal dari kata “consensus” yang bermakna kesepakatan. Syarat kesepakatan dalam suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli dimaksudkan agar perjanjian itu didasarkan atas kesesuaian kehendak para pihak. Bahwa apa yang dikehendaki satu pihak juga merupakan kehendak pihak lainnya. Apa yang dikehendaki penjual juga merupakan kehendak pembeli, dan sebaliknya.

    Baca juga: Asas-Asas yang Berlaku dalam Hukum Kontrak

    Artinya, perjanjian jual beli telah terjadi apabila penjual dan pembeli sudah menyepakati barang dan harganya sebagai wujud prestasi dan kontra prestasi dalam perjanjian jual beli. Kesepakatan penjual dan pembeli atas barang dan harga itu tidak dipersyaratkan atau disandarkan terhadap ada atau tidaknya penyerahan barang maupun pembayaran harga pada saat itu. Kehendak para pihak (penjual dan pembeli) tentang barang dan harga itulah yang menjadi penentu lahirnya kesepakatan sehingga lahir perjanjian jual beli.

    Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa secara yuridis jual beli barang secara PO merupakan bentuk lain dari konstruksi perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa sejatinya esensi dan substansi dalam pembelian atau pemesanan barang dalam sistem PO adalah jual beli.

    Oleh karena itu, ketentuan jual beli sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1457 dan 1458 KUH Perdata juga berlaku dalam transaksi atau perjanjian yang menggunakan sistem PO.

    Jika Penjual Barang PO Mengubah Harga secara Sepihak

    Konsekuensi hukum yang seyogianya dipahami oleh para pihak dalam perjanjian jual beli adalah penjual terikat untuk menyerahkan barang yang telah dijual kepada pembeli sesuai harga yang telah ditentukan dan diterima (diakseptasi) oleh pembeli. Sebaliknya, pembeli juga berkewajiban membayar harga itu sekaligus juga berhak atas barang yang telah dipesan.

    Apabila pembeli telah melakukan persetujuan (akseptasi) terhadap barang dan harga yang telah ditawarkan penjual, maka penjual tidak boleh melakukan perubahan atas barang yang dijual maupun harga yang telah ditentukan semula.

    Hal ini karena hukum yang berlaku adalah perubahan atas barang dan harga serta klausula yang telah disepakati dalam suatu perjanjian, tak terkecuali dalam perjanjian jual beli, harus dilakukan atas dasar sepakat dan kehendak kedua belah pihak, dan tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh salah satu pihak, semisal oleh penjual. Ketentuan demikian itu telah ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 16 UU Perlindungan Konsumen.

    Mengenai isi dari Pasal 1338 KUH Perdata, dapat Anda simak dalam artikel Asas-asas dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Adapun, Pasal 16 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

    1. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
    2. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

    Apabila pelaku usaha atau penjual melakukan perubahan harga sehingga merugikan pembeli atau konsumen, maka konsumen berhak untuk meminta pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban sesuai isi perjanjian yang telah disepakati sejak awal.

    Pembeli atau konsumen dapat menggugat pelaku usaha agar menyerahkan barang yang dipesan sesuai perjanjian dan harga semula yaitu harga barang yang telah disepakati sebelum diubah. Menurut hemat kami, perbuatan penjual yang melakukan perubahan harga tanpa pemberitahuan kepada pembeli atau konsumen dan persetujuannya, sehingga barang pesanan (PO) tidak diserahkan, merupakan suatu bentuk ingkar janji atau wanprestasi. Wanprestasi menimbulkan konsekuensi hukum bagi penjual yaitu bahwa pembeli memiliki beberapa hak gugat yang salah satunya adalah hak pemenuhan prestasi yaitu berupa penyerahan barang.

    Baca juga: Bunyi Pasal 1243 KUH Perdata tentang Wanprestasi  

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    Referensi:

    1. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung, 1986;
    2. Cambridge Dictionary, pre order, yang diakses pada Selasa, 16 April 2024 pukul 10.10 WIB.

    [1] M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung, 1986, hal. 181-182

    Tags

    perlindungan konsumen
    jual beli

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!