Akhir-akhir ini viral kasus bullying di salah satu sekolah di Indonesia, dan terduga pelaku bullying libatkan anak artis. Pertanyaan saya, bullying anak kena pasal berapa? Apakah Pasal 76C UU 35/2014 mengatur tentang bullying anak? Jika benar, apa bunyi pasal 76C UU 35/2014?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, tindak pidana bullying atau perundungan anak diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang mengatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Lantas, apa sanksi pidana bagi orang yang melanggar Pasal 76C UU 35/2014?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu bullying atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perundungan. Dalam hal bullying terjadi di sekolah, bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.[1] Adapun kategori bullying setidaknya meliputi 5 kategori sebagai berikut:[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Fisik: memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
Verbal: mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
Perilaku non-verbal langsung: menempelkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam (biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
Perilaku non-verbal tidak langsung: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
Pelecehan seksual: kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan baik pelaku maupun korban bullying adalah anak. Lantas, apa hukumannya bagi pelaku bullying anak?
Isi Pasal 76C UU 35/2014
Pada dasarnya, tindak pidana bullying atau perundungan anak diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Dari bunyi Pasal 76C UU 35/2014, yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi.[3] Sedangkan arti “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[4]
Selanjutnya, jika larangan melakukan kekerasan terhadap anak dalam Pasal 76C UU 35/2014 dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 UU 35/2014, yaitu:
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Sanksi Pidana Pelaku Bullying di Bawah Umur
Walau demikian, mengingat diasumsikan bahwa pelaku juga masih berusia anak atau di bawah umur, maka kita perlu merujuk pada UU SPPA yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.[5] Apa itu keadilan restoratif?
Sebagaimana dikutip dari artikel Restorative Justice Ujungnya Tak Melulu Penghentian Perkara, keadilan restoratif atau restorative justice adalah pendekatan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, pelaku, atau pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, bukan pembalasan. Prinsip keadilan restoratif bertujuan untuk membuat pelanggar bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya, memberikan kesempatan kepada pelanggar membuktikan kapasitas dan kuantitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif, melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya, serta menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.[6]
Selanjutnya, pelaku anak yang melakukan bullying tersebut merupakan anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[7]
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dalam hal tindak pidana diancam pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.[8]
Jika pelaku anak belum berusia 14 tahun, maka anak hanya dapat dikenai tindakan seperti:[9]
pengembalian kepada orang tua/wali;
penyerahan kepada seseorang;
perawatan di rumah sakit jiwa;
perawatan di LPKS;
kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana.
Adapun pidana pokok bagi pelaku anak terdiri atas:[10]
pidana peringatan;
pidana dengan syarat, yaitu pembinaan di luar Lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
pelatihan kerja;
pembinaan dalam lembaga; dan
penjara.
Kemudian jenis pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.[11]
Patut dicatat, anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, yakni paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.[12]
[6] Ali Subroto Suprapto. Penjara Tanpa Anak: Akses Keadilan Restoratif dan Masa Depan Anak Berhadapan Hukum. Yogyakarta: CV Budi Utama, 2023, hal. 76-77