Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tunarungu dan Tunaaksara
tidak dapat mendengar; tuli
tidak dapat membaca dan menulis; buta huruf
Jadi dapat diketahui bahwa pertanyaan Anda berkaitan dengan apakah seseorang yang tidak dapat mendengar (tuli) dan/atau seseorang yang tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dapat menandatangani/membuat sebuah kontrak? Untuk itu mari kita lihat penjelasannya berikut ini.
Keabsahan Kontrak
Jika melihat aturan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya atau yang biasa dikenal dengan asas kebebasan berkontrak, selengkapnya sebagai berikut:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Akan tetapi, yang perlu kita ingat bahwa asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUH Perdata. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 – Pasal 1337 KUH Perdata.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
[1]kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Jika melihat kepada pertanyaan Anda, yang perlu dibahas adalah syarat nomor 2, yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Pada dasarnya, tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.
[2] Selanjutnya, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata berikut ini:
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
anak yang belum dewasa;
orang yang ditaruh di bawah pengampuan.[3]
Perlu diketahui apabila syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
[4]
Jika melihat pendapat dari Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis (hal. 30-31) bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Artinya, dengan pemahaman di atas, kontrak adalah juga perjanjian walaupun belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, kontrak sama artinya dengan perjanjian.
Lebih lanjut lagi Ricardo (hal.31) berpendapat bahwa inti dari suatu kontrak yaitu masing-masing pihak terikat untuk memenuhi (memberikan prestasi) atas hal-hal yang telah dijanjikan (disepakati) tersebut. Dan bila terjadi pengingkaran dari janji (wanprestasi) akan memberikan hukuman padanya untu mengganti rugi mitra berjanjinya yang dirugikan (hukum perikatan atau law of obligation), tidak peduli kesepakatan tertulis atau lisan.
Namun pertanyaannya adalah apakah seorang tunarungu dan/atau tunaaksara dapat dikatakan cakap untuk membuat suatu kontrak?
Menurut hemat kami, tidak ada larangan bagi seorang tunarungu dan/atau tunaaksara untuk membuat suatu kontrak, kecuali jika ia tak cakap sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata di atas.
Khusus bagi tunaaksara atau tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf), maka langkah terbaik adalah membuat suatu kontrak secara lisan. Karena menurut Ricardo dalam buku yang sama, jikapun kontrak tersebut dibuat secara lisan, tetap saja tidak akan mengurangi kekuatan hukum mengikatnya.
Opsi lain, ia dapat memberikan kuasa pada seseorang untuk membantunya dalam membuat perjanjian tertulis seperti membantu menuliskan atau membantu membacakan isi perjanjian.
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 18) perihal kecakapan dalam perjanjian, mengatakan bahwa kalau seseorang dibantu, ini berarti, ia bertindak sendiri, hanyalah ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
Jadi, perlu kami tegaskan bahwa seseorang yang membantu tersebut tugasnya adalah membantu tunarungu/tunaaksara dalam membuat perjanjian, misalnya membantu menuliskan atau membacakan isi perjanjian, bukan mewakilinya dalam bertindak pada suatu perjanjian. Tunarungu/ tunaaksara tetap menjadi subjek yang bertindak dalam perjanjian atas namanya sendiri.
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Ricardo Simanjuntak. 2006. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Mingguan Ekonomi & Bisnis KONTAN;
Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.
[1] Pasal 1320 KUH Perdata
[2] Pasal 1329 KUH Perdata
[3] Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikulnya dalam suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. (Subekti dalam bukunya
Hukum Perjanjian, hal. 17)
[4] Pasal 1331 KUH Perdata