Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tenaga Kerja Asing
Penggunaan tenaga kerja asing telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) beserta peraturan pelaksananya. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
[1] Artinya, warga negara asing tersebut diwajibkan untuk memiliki izin tinggal untuk bekerja di wilayah Indonesia. Selain itu, tenaga kerja asing juga diwajibkan untuk memiliki izin kerja dari instansi di bidang ketenagakerjaan. Pembuatan izin ini diurus oleh perusahaan pemberi kerja.
Penggunaan tenaga kerja asing hanya diperbolehkan untuk jabatan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini berarti terdapat pembatasan bidang pekerjaan dan jangka waktu hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja asing, yang dituangkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu secara tertulis.
Kewajiban Membayar Upah Pekerja/Buruh
UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
[2]a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Dalam poin e terdapat ketentuan mengenai besarnya upah yang wajib dibayar oleh perusahaan kepada pekerja tenaga kerja asing dan cara pembayarannya. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
[3]
Pemberi kerja sendiri adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
[4] Sedangkan perusahaan salah satunya adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
[5]
Ketentuan mengenai cara pembayaran upah lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”). Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.
[6] Upah wajib dibayarkan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran upah yang memuat rincian upah yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat upah dibayarkan. Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat kuasa hanya berlaku untuk satu kali pembayaran upah.
[7]
Pengusaha wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Apabila hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, pelaksanaan pembayaran upah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
[8]
Hari atau tanggal pembayaran gaji harus didasarkan pada perjanjian antara perusahaan dan karyawan, baik disepakati secara lisan atau tertulis dalam perjanjian kerja, maupun tercantum dalam peraturan perusahaan. Hal tersebut supaya menimbulkan kepastian hukum bagi pekerja.
PP 78/2015 sendiri mengatur bahwa pembayaran upah oleh pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu satu kali atau paling lambat sebulan satu kali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
[9] Upah pekerja/buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran upah.
[10]
Keterlambatan Pembayaran Upah
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
[11] Denda atas keterlambatan pembayaran upah tersebut lebih rinci diatur dalam Pasal 55 PP 78/2015 sebagai berikut:
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.
Berakhirnya Perjanjian Kerja
Patut disayangkan Anda tidak merinci hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan berakhirnya perjanjian kerja sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja antara tenaga kerja asing tersebut dengan perusahaan. Namun di dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
[12]
Perjanjian kerja berakhir apabila:
[13]a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu (seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan) yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan-ketentuan di atas, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
[14]
Namun demikian, Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Atas ketentuan ini,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 memberikan catatan bahwa Pasal 169 ayat (1) huruf c bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.”
Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan di atas, pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
[15]
Kewajiban Pemberi Kerja Memulangkan Tenaga Kerja Asing
Lebih lanjut, pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib untuk memulangkan tenaga kerja asing kembali ke negara asalnya, setelah hubungan kerja berakhir.
[16] Pemberi kerja yang tidak mematuhi ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Jenis sanksi yang dapat dikenakan adalah sebagai berikut:
[17]a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan izin.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 13 UU Ketenagakerjaan
[2] pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 1 angka 6 huruf a UU Ketenagakerjaan
[11] Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[12] Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan
[13] Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[14] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
[15] Pasal 169 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[16] Pasal 48 UU Ketenagakerjaan
[17] Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan