Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Adopsi adalah pengangkatan anak. Undang-undang dan berbagai peraturan memakai istilah pengangkatan anak. Adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Yang dimaksud Calon Orang Tua Angkat (“COTA”), yakni orang yang mengajukan permohonan untuk menjadi Orang Tua Angkat.
[1] Salah satu persyaratan COTA itu meliputi memperoleh persetujuan anak dan
izin tertulis dari orang tua atau wali anak.
[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
[3]
Adaposi dilakukan selalu pada posisi tidak normal, baik kepada si anak maupun kepada si orang tua. Tidak normal karena si anak memiliki orang tua yang tidak mampu yang membuat anak terlantar. Sedangkan si orang tua, karena tidak mempunyai anak atau karena anakanya cuma satu, ingin menambah anak di luar anak biologis.
Filosofi adopsi adalah demi kemaslahatan anak. Bukan demi orang tua atau orang dewasa. Jika ada niat untuk mengadopsi, tapi yang berada di pikiran adalah hanya karena gengsi dan status sosial, buanglah jauh-jauh niat Anda untuk mengadopsi anak.
Tata cara adopsi telah diatur secara ketat dalam berbagai perturan perundang-undangan di Indonesia, yang jika dirangkum dikategorikan dalam: kategori pertama, adanya anak yang terlantar dan adanya calon orang tua yang mengidamkan si anak. Tahap kedua, tahapan legalisasi di pengadilan. Tahapan ketiga, tahapan pencatatan di catatan sipil. Tahapan keempat, kewajiban si orang tua untuk tetap melaporkan pengangkatan anak kepada instansi pemerintah yang menangani pengangkatan anak (Dinas sosial).
Untuk kasus ini, sebenarnya ada persesuaian pendapat antara orang tua biologis dengan calon orang tua angkat. Sehingga, cukup melanjutkan iktikad baik saja karena antara ibu dengan pasangan suami istri (“pasutri”) itu sama-sama memiliki kepentingan yang sama.
Ibu tidak mau aibnya terbongkar, memiliki anak tanpa ada perkawinan yang sah. Sedangkan si pasutri sangat berkeinginan atas anak biologis ibu namun terputus hubungan si anak dengan ibu. Namun sebaliknya, ibu pun dan pasutri memiliki kesalahan yang sama. Ibu sudah menterlantarkan anak, sedangkan si pasutri mulai menjauhkan hubungan antara si anak dengan ibu.
Bahwa jika kembali ke filosofi hukum pengankatan anak adalah demi kebaikan si anak hal ini sebanarnya cukup dimusyawarahkan saja.
Namun jika kembali kepada pertanyaan yang diajukan, dan mengacu kepada filosofi ini, kami menyimpulan:
Kesalahan ibu adalah:
Memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan pejabat negara.
[4]
Kesalahan si pasutri jika sampai mengangkat anak adalah:
Merubah asal usul anak;
Memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan pejabat negara.
Namun perlu diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu, karena perlu diingat sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau
ultimum remedium. Selengkapnya simak artikel
Arti Ultimum Remedium.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[2] Pasal 7 ayat (1) huruf i Permensos 110/2009