Saya seorang WNI yang saat ini tinggal di Jepang dan menikah dengan WN Jepang. Beberapa waktu yang lalu saat saya pulang ke Indonesia dan bermaksud untuk membeli rumah melalui KPR, alangkah kagetnya karena pihak bank mensyaratkan Surat Keterangan Pemisahan Harta, yang tentu saja tidak dapat saya penuhi karena kondisi saat ini saya telah menikah dan pada saat menikahpun kami tidak melakukan perjanjian penikahan terkait dengan pemisahan harta. Yang ingin saya tanyakan, apakah pasangan nikah campur (WNI dan WNA) sudah tertutup sama sekali kesempatan untuk mempunyai properti di Indonesia, meskipun pembelian tersebut atas nama pihak Indonesia? Jika ada solusi yang baik, saya sangat berterima kasih sekali karena di masa depan kami berencana tinggal dan menetap di Indonesia. Terima kasih.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan padaJumat, 05 Oktober 2012.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Intisari:
Jika Anda tidak membuat perjanjian perkawinan, Anda tidak dimungkinkan untuk memiliki hak milik, Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan walaupun nama yang nantinya akan tertera adalah nama Anda sebagai WNI.
Hal ini terkait dengan harta dalam perkawinan Anda. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya.
Jika Anda tidak mempunyai perjanjian kawin, maka rumah yang Anda beli akan menjadi harta bersama antara Anda dengan pasangan Anda yang WNA (ada percampuran harta). Ini mengakibatkan pasangan WNA Anda memiliki setengah dari hak milik tersebut (hal tersebut berlaku pula untuk HGB dan HGU), yang mana WNA tidak dapat menjadi pemegang hak atas tanah hak milik, HGB dan HGU.
Solusinya adalah Anda dapat membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Jenis-jenis Hak Atas Tanah
Pada dasarnya, Anda sebagai Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang menikah dengan Warga Negara Asing (“WNA”) tidak dapat memiliki hak atas tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha (“HGU”), maupun Hak Guna Bangunan (“HGB”). Untuk menjawab lebih rinci pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan mengenai jenis-jenis hak atas tanah berikut pihak-pihak yang dapat memilikinya, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Jenis-jenis hak atas tanah tersebut antara lain:
1.Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.[1] Hak milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,[2] tetapi hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.[3]
2.Hak Guna Usaha
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.[4] Jangka waktu HGU paling lama 25 tahun (untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun) dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun.[5] Yang dapat mempunyai HGU adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.[6]
3.Hak Guna Bangunan
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.[7] Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.[8] HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.[9] Yang dapat mempunyai HGB adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.[10]
4.Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain.[11] Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, serta dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.[12] Yang dapat mempunyai hak pakai adalah WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia/WNA, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.[13]
Berdasarkan cerita Anda, kami berasumsi bahwa Anda ingin memiliki hak milik atas tanah. Pertama-tama, kami ingin menjelaskan bahwa baik berdasarkan Pasal 119 – Pasal 123 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), harta yang diperoleh setelah terjadinya perkawinan menjadi harta bersama, kecuali dibuat perjanjian perkawinan.
Oleh sebab itu, karena Anda tidak membuat perjanjian perkawinan dan berdasarkan uraian tentang jenis-jenis hak atas tanah di atas serta ketentuan mengenai harta bersama, Anda tidak dimungkinkan untuk memiliki hak milik atas tanah walaupun nama yang nantinya akan tertera adalah nama Anda sebagai WNI (hal tersebut berlaku pula untuk HGB dan HGU).
Jika Anda tidak mempunyai perjanjian kawin, maka rumah yang Anda beli akan menjadi harta bersama antara Anda dengan pasangan Anda yang WNA (ada percampuran harta). Ini mengakibatkan pasangan WNA Anda memiliki setengah dari hak milik tersebut (hal tersebut berlaku pula untuk HGB dan HGU), yang mana berdasarkan uraian di atas, WNA tidak dapat menjadi pemegang hak atas tanah hak milik, HGB maupun HGU.
Cara Agar Dapat Mempunyai Tanah Hak Milik, HGB, atau HGU
Jika Anda ingin memiliki hak atas tanah yaitu hak milik, HGB atau HGU, maka jalan keluarnya adalah Anda dapat membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:
(1)Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.