Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Keputusan Sidang Isbat dan Kewajiban Mematuhinya
Di Indonesia, ketetapan hasil sidang isbat Kementerian Agama dikeluarkan melalui Keputusan Menteri Agama, berdasarkan hasil dari sidang isbat yang melibatkan berbagai unsur, baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan Islam dan Majelis Ulama Indonesia.
Sebelum sidang isbat tersebut, pembahasan mendetail soal hasil hisab dan kemungkinan hasil rukyat dilakukan oleh Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama.
Hal tersebut ditegaskan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari isi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 di atas dapat diberikan analisis bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih agama dan kepercayaan beserta berbagai cara peribadatannya. Siapapun tidak dapat menghalangi peribadatan dari agamanya tersebut.
Dalam konteks ini, maka tata cara peribadatan yang diyakini dan memiliki dasar dalam agama dan kepercayaan tersebut merupakan hak yang dijamin undang-undang, sehingga dalam masalah yang berkaitan dengan rangkaian ritual, juga harus diberikan hak, dengan segala variasi tata cara dalam agama dan kepercayaan tersebut.
Khilafiyah dalam Tata Cara Beribadah
Dalam tata cara ibadah puasa Ramadan, misalnya, penentuan awal dan akhir puasa atau awal Idulfitri, dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu metode rukyat dan metode hisab. Kedua metode tersebut juga diakui keabsahannya di Indonesia.
Dua metode yang berbeda itu pun digunakan oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Maka sebagai akibatnya, perbedaan dalam penentuan awal dan akhir bulan puasa senantiasa terjadi.
Ahmad Izzuddin dalam buku Ilmu Falak Praktis (hal. 152 – 153) menerangkan bahwa pada dasarnya, jika akhir bulan Sya’ban (menjelang 1 Ramadan) atau akhir Ramadan (menjelang 1 Syawal) posisi bulan sudah di atas ufuk pada saat matahari terbenam, tetapi ketinggian bulan (hilal) masih di bawah 2 derajat, maka menurut penganut metode hisab, kondisi tersebut sudah menjadi pertanda datangnya bulan baru.
Sedangkan bagi penganut metode rukyat, semuanya tergantung pada nampak atau tidaknya bulan pada pengamatan yang dilakukan. Inilah pangkal utama terjadinya perbedaan awal Ramadan atau awal Syawal.
Maka, meskipun hasil sidang isbat telah dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Agama, namun Menteri Agama sendiri juga tetap memberikan kebebasan bagi yang melaksanakan awal puasa berbeda dengan ketetapan sidang isbat dengan tetap saling menghormati perbedaan.
Dalam artikel
Tak Ada Kontroversi di Balik Penentuan Awal Ramadan, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung periode 2005 – 2012, Wahyu Widiana, mengungkapkan, pemerintah tak bisa menuntut secara hukum pihak-pihak yang tidak menaati Keputusan Menteri Agama soal penentuan awal bulan Ramadan. Pasal 29 UUD 1945 soal kebebasan beragama adalah dasarnya. Sepanjang perbedaannya soal metode dan hasilnya, tidak masalah, kecuali, misalnya, menimbulkan keresahan sosial.
Idealnya, baik penentuan awal puasa Ramadan maupun akhir Ramadan atau datangnya Idulfitri, haruslah berlaku sama bagi seluruh pemeluk agama Islam dalam satu negara.
Apalagi jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakangi munculnya sidang isbat, sidang isbat (penetapan) awal Ramadan dan Syawal yang dipimpin Menteri Agama secara resmi mulai dilakukan pada 1962 yang hampir semuanya terdokumentasi dengan baik dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama.
Tujuan dari adanya sidang isbat itu adalah untuk mengantisipasi berbagai perbedaan tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam artikel Isbat Awal Ramadan dan Syawal 1436H dalam Khasanah Edisi XXI (Juni – Agustus 2015).
Secara fiqih, memang perbedaan pendapat sebenarnya dapat diatasi atau diakhiri dengan keputusan pemimpin negara. Terdapat kaidah yang sangat dikenal, “hukmul hakim yarfa’ul khilaf” (keputusan hakim atau pemerintah, mengatasi perbedaan pandangan) sebagai dasar agar pemimpin negara untuk menengahi perbedaan tersebut.
Namun, pemerintah tentu saja mempertimbangkan berbagai sisi kebaikan dan keburukan yang mungkin terjadi, sehingga tidak melakukan pemberlakuan secara ketat hasil sidang isbat tersebut.
Di samping itu, memang dalam masalah ini, berbagai negara menempuh pendekatan yang berbeda-beda. Ada negara yang menerapkan keseragaman bagi seluruh pemeluk agama Islam dan ada pula yang tidak.
Negara-negara Islam di Timur Tengah dan Malaysia serta Brunei Darussalam menerapkan waktu yang sama secara menyeluruh.
Indonesia termasuk yang memperbolehkan orang Islam untuk berbeda dalam hal awal waktu puasa ataupun jatuhnya hari raya Idulfitri. Tentu saja masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihan dari keseragaman awal dan akhir bulan Ramadan adalah adanya kebersamaan yang biasanya diidentikkan dengan kerukunan.
Sedangkan kekurangannya adalah menutup pintu khilafiyah (perbedaan pendapat dan interpretasi Hukum Islam), di mana khilafiyah itu sendiri suatu hal yang dihargai dalam Hukum Islam.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Ahmad Izzuddin. Ilmu Falak Praktis. Semarang: Pustaka Al-Hilal, 2012;
Khasanah, Edisi XXI (Juni – Agustus 2015). Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2015.