Apa dasar hukum pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)?
Mengapa penyelesaian utang piutang melalui PKPU lebih sedikit daripada melalui pailit?
Apakah penyelesaian utang piutang melalui PKPU lebih bermanfaat bagi kepentingan kreditur dan debitur?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Dasar hukum pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) adalah UU 37/2004 yang tidak hanya mengatur soal PKPU, juga termasuk kepailitan. Kemudian mengapa penyelesaian utang piutang lewat PKPU sangatlah sedikit daripada melalui pailit? Kemudian, apa manfaat penyelesaian utang piutang menggunakan proses PKPU?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul PKPU yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 22 Januari 2003.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) lahir dari kondisi perekonomian nasional pada pertengahan tahun 1997 saat terjadi krisis moneter yang membuat depresiasi drastis terhadap nilai tukar rupiah dengan mata uang asing khususnya dengan dolar. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif menjadi negatif. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10% menjadi sekitar 70% pada saat itu.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dampak dari kondisi tersebut adalah banyak perusahaan yang kesulitan untuk membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dan banyak perusahaan yang akhirnya mengalami kebangkrutan. Maka dari itu upaya PKPU hadir untuk setidaknya memberikan kesempatan pada perusahaan yang sudah memiliki utang jatuh tempo untuk melunasi utang-utangnya sebelum dinyatakan bangkrut atau pailit.
Adapun dasar hukum pelaksanaan PKPU yaitu UU 37/2024 yang mana yurisdiksi mengajukan permohonan PKPU adalah Pengadilan Niaga.[2] Pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa, dan memutus perkara-perkara kepailitan dan PKPU, serta perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan adalah Pengadilan Niaga.[3]
Proses Kepailitan dan PKPU
Menjawab pertanyaan kedua, terkait sedikitnya penyelesaian utang piutang melalui proses PKPU di Pengadilan Niaga menurut hemat kami, dapat disebabkan karena pada upaya PKPU yang terdiri dari PKPU sementara maupun tetap dibutuhkan waktu maksimum 45 hari penundaan (PKPU sementara) hingga 270 hari penundaan (PKPU tetap).[4]
Penundaan waktu tersebut dapat dikatakan cukup lama dan tidak jarang setelah jangka waktu tersebut habis, debitur juga tidak dapat membayarkan kewajiban utangnya. Hal tersebut berpotensi menghabiskan waktu lebih lama bagi kreditur untuk dapat segera memperoleh haknya.
Selain itu apabila sudah melewati jangka waktu PKPU tetap, tidak ada pengajuan perdamaian, dan debitur masih tidak bisa melunasi utangnya, maka debitur dinyatakan pailit.
Hal ini berbeda dengan pailit, syarat-syarat pembuktian pailit dapat dengan mudah dibuktikan secara sederhana. Selengkapnya mengenai syarat kepailitan dapat Anda simak dalam 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya. Sehingga, kami berpendapat upaya hukum pailit lebih memberikan kepastian bagi kreditur untuk mendapatkan haknya berupa pelunasan piutang dari debitur, selain itu juga memberikan perlindungan kepada debitur dalam pengurusan pelunasan piutang yang akan dibantu oleh kurator.
Manfaat PKPU dalam Penyelesaian Utang Piutang
Kemudian menjawab pertanyaan terakhir, PKPU merupakan pilihan di banding mengajukan permohonan pailit. Patut dipahami, tujuan PKPU adalah untuk membantu pengusaha dalam menyelesaikan utangnya serta meneruskan kegiatan usahanya secara adil, efisien, dan cepat (business going concern).
Ringkasnya, PKPU bertujuan memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk melakukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditur atau dengan kata lain restrukturisasi utang. Perdamaian menjadi elemen esensial dalam PKPU.
Di sisi lain, penyelesaian utang piutang melalui PKPU menunjukan masih adanya iktikad baik dari debitur untuk membayar utangnya dengan mengajukan proposal perdamaian, sekaligus untuk menghindari kepailitan.
Hary Kurniawan. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pada Kepailitan Melalui Perdamaian. Jurnal Ilmiah Focus Mahasiswa UPMI. Vol. 1 No. 1, 2019;
Linda Firdawaty. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Menyelesaikan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Asas Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 5, No. 1, 2013.
[3] Linda Firdawaty. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Menyelesaikan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Asas Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 5, No. 1, 2013