Selama masa kampanye pemilu, bahkan hingga pasca pemilihan, tak jarang ujaran kebencian dilontarkan oleh netizen kepada paslon, tim kampanye, hingga pendukungnya. Namun demikian, tentu tidak semua ujaran kebencian dapat dipidana karena terlalu banyak pelaku dan justru terkesan represif. Pertanyaan saya, adakah kriteria khusus suatu ujaran kebencian atau hate speech diproses secara hukum? Adakah upaya penanggulangan hate speech agar pemilu lebih damai dan menekan adanya segregasi?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Hate speech atau ujaran kebencian merupakan tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, dan penyebaran berita bohong yang bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
Oleh karena itu, semua hate speech melalui media apapun dapat dihukum dengan ketentuan pidana. Namun, dalam implementasinya, terdapat kriteria khusus dan pengecualian dalam penindakan terhadap perbuatan ujaran kebencian.
Lalu, bagaimana cara menanggulangi hate speech untuk mewujudkan pemilu yang damai?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan menjelaskan apa yang dimaksud hate speech atau ujaran kebencian. Menurut Robert Post sebagaimana dikutip oleh Hare & Weinstein mendefinisikan hate speech sebagai “speech expressing hatred or intolerance of other social group especially on the basis of race and sexuality”. Berdasarkan definisi tersebut, maka ujaran kebencian dapat diartikan sebagai ungkapan atau pernyataan yang menunjukkan rasa benci atau tidak memiliki toleransi terhadap kelompok masyarakat lain berdasarkan ras dan seks.[1]
Sedangkan menurut KBBI, ujaran adalah kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Sedangkan, kebencian adalah perasaan benci; sifat-sifat benci; sesuatu yang dibenci. Adapun ujaran kebencian adalah ujaran yang menyerukan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengaturan Hate Speech dalam Hukum Positif di Indonesia
Berdasarkan penelusuran kami, hate speech diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan ataupun surat edaran, antara lain:
Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 (“SE Ujaran Kebencian”) yang mendefinisikan ujaran kebencian sebagai tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, dan penyebaran berita bohong yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.[2]
KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, diatur dalam beberapa pasal, antara lain: Pasal 154 tentang siapa saja di muka umum mengungkapkan rasa perihal permusuhan, penghinaan atau rasa benci kepada kekuasaan atau wewenang Indonesia; Pasal 155 tentang perbuatan menyiarkan dari perbuatan kejahatan pada Pasal 154; dan Pasal 156 tentang siapa saja di muka umum mengutarakan rasa permusuhan, penghinaan atau unsur kebencian kepada seseorang atau dengan golongan masyarakat Indonesia.
UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, antara lain Pasal 242 tentang di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian, atau penghinaan kepada golongan atau kelompok penduduk Indonesia; dan Pasal 243 tentang menyiarkan atau mempertunjukkan pernyataan permusuhan yang berakibat timbulnya kekerasan.
Pasal 16 UU 40/2008 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, UU 40/2008 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
Dalam Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai ujaran kebencian, namun diatur dalam bentuk perbuatan yang dilarang yaitu:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Tindak Pidana Hate Speech dalam Pemilu dan Pilkada
Selain tersebar dalam peraturan umum, larangan hate speech juga diatur dalam peraturan tentang pemilu, yaitu dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.
Adapun, dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dinyatakan bahwa dalam kampanye dilarang melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Pengecualian Hate Speech yang Dapat Diproses Hukum
Secara normatif, ketentuan pidana tentang hate speech diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan dapat menjerat siapa saja yang melakukannya. Namun, dalam dalam pelaksanaannya, ternyata menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan over criminalization. Untuk itu, diatur kriteria khusus dan pengecualian dalam penegakan hukum, utamanya hate speech yang dilakukan oleh netizen melalui media sosial sebagaimana diatur dalam UU ITE dan perubahannya.
Kriteria khusus dan pengecualian implementasi ketentuan ujaran kebencian atau hate speech di media sosial diatur dalam Lampiran SKB UU ITE (hal. 17 – 19). Meskipun Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah diubah dengan UU 1/2024, namun terdapat beberapa hal yang menurut kami masih relevan, antara lain:
Bentuk informasi yang disebarkan bisa berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA;
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/ atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan.
Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu perbedaan SARA.
Penanggulangan Tindak Pidana Hate Speech dalam Pemilu
Namun, apakah dengan peraturan tersebut dapat mencegah dan menanggulangi kejahatan ujaran kebencian?
Pada dasarnya perbuatan ujaran kebencian atau hate speech telah dilarang di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bahkan, ancaman pidana yang diterapkan termasuk cukup berat. Oleh karena itu, secara normatif semua perbuatan penyebaran ujaran kebencian dapat dipidana dengan proses pidana.
Namun, pengaturan tersebut tidak menurunkan kasus kejahatan ujaran kebencian dari tahun ke tahun. Penanggulangan hate speech dengan proses pidana ternyata tidak efektif menurunkan jumlah tindak pidana hate speech. Dari hasil penelusuran kami, dari ribuan kasus hate speech, kepolisian hanya dapat menanggulangi ratusan perkara yaitu tahun 2019 sebesar 191 kasus, tahun 2020 sejumlah 122 kasus dan tahun 2022 sejumlah 121 kasus. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa upaya represif bukanlah upaya satu-satunya cara untuk menanggulangi tindak pidana ujaran kebencian.
Menurut Barda Nawawi Arief, pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya menggunakan sarana hukum pidana (penal) saja, tetapi juga dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana nonhukum pidana (non penal).[4]
Upaya nonpenal dalam penanggulangan ujaran kebencian sebenarnya sudah termuat dalam Butir 3 huruf a SE Ujaran Kebencian, antara lain melakukan tindakan dengan mengedepankan fungsi Binmas dan Polmas untuk melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran kebencian dan dampak negatif yang akan terjadi.
Selain kepolisian, kejaksaan juga terus melakukan kegiatan pencegahan ujaran kebencian melalui beberapa program yaitu kegiatan JMS (jaksa masuk sekolah) dan JMD (jaksa masuk desa) dimana program kejaksaan tersebut mengajak masyarakat berperan dalam pencegahan ujaran kebencian. Namun langkah preventif ini tentu masih perlu ditingkatkan dan terus dikoordinasikan antar penegak hukum dan institusi terkait.
Keterlibatan peranan masyarakat menjadi kunci efektifnya penanggulangan kejahatan hate speech. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pencegahan hate speech yaitu dengan cara melibatkan komunitas masyarakat dalam mengidentifikasi masalah, menyelesaikan masalah, dan mempergunakan kontrol sosial.
Oleh karena itu, jika masyarakat Indonesia memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup dalam mengidentifikasi dan mencegah ujaran kebencian, maka penanggulangan kejahatan ujaran kebencian akan jauh lebih efektif sehingga terwujud pemilu maupun pilkada yang damai.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.