10 Catatan LBH Jakarta untuk Revisi Permenkumham Paralegal
Berita

10 Catatan LBH Jakarta untuk Revisi Permenkumham Paralegal

Mulai definisi penerima bantuan hukum diperluas, hingga pengaturan pendanaan yang menimbulkan multitafsir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Kantor LBH Jakarta. Foto: Dok. Hol
Kantor LBH Jakarta. Foto: Dok. Hol

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Allih-alih menjadi kabar positif dalam pemberian bantuan hukum, tapi malah sebaliknya. Sebab, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai Permenkumham 3/2021 tak sejalan dengan semangat perjuangan mewujudkan keadilan dan berpotensi menimbulkan terbatasnya pemberian hukum yang diberikan Pararegal.

“Kehadiran pararegal menjadi harapan memperluas bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi. Namun justru Permenkumham 3/2021 tak seperti yang diharapkan,” ujar pengacara publik LBH Jakarta, Andi Komara melalui keterangan tertulis, Rabu (21/4/2021).

LBH Jakarta menyampaikan 10 catatan yang menjadi poin penting agar Permenkumham 3/2021 segera direvisi. Pertama, definisi penerima bantuan hukum sebagaimana diatur UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Permenkumham 3/2021 itu. Kedua peraturan tersebut hanya mengatur sebatas “orang atau kelompok orang miskin”. Padahal, tak hanya masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum, tapi juga kalangan minoritas dan kelompok rentan.

“Definisi pemberian bantuan hukum seharusnya dapat dimaknai secara lebih luas,” kata Andi Komara.

Kedua, rekognisi yang diatur secara khusus pada Bab VI Permenkumham 3/2021. Pasal 13 ayat (3) mengatur syarat pengajuan rekognisi kepada Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) selaku penyelenggara bantuan hukum. Salah satunya, kewajiban melampirkan daftar pengalaman memberikan bantuan hukum oleh paralegal.

Bagi LBH Jakarta, rumusan syarat tersebut amat janggal. Sebab belum tentu seluruh paralegal yang telah direkrut pemberi bantuan hukum telah berpengalaman. Bila mensyaratkan pengalaman, boleh jadi ada potensi bagi calon paralegal melakukan advokasi sebelum menjadi paralegal yang bisa jadi tidak terstandar.

Ketiga, adanya standardisasi yang diberikan paralegal. Menurut Andi, adanya pengakuan kompetensi dan prosedur mendapat pengakuan bak pisau bermata dua. Satu sisi dapat menghambat kinerja paralegal karena mesti terstandar. Sisi lain, hal tersebut menjadi baik demi menjaga kualitas pararegal yang juga dapat mempersulit proses rekrutmen paralegal.

Rumusan aturan tersebut dinilai bakal memperlambat kehadiran paralegal. Secara normatif, Andi menilai ketentuan tersebut bentuk pengulangan. “Yang mana secara ideal pada Permenkumham 3/2021 tentang Paralegal telah diatur mengenai rekognisi, maka pengakuan mengenai kompetensi menjadi tidak perlu,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait