Inkonsistensi Kedudukan dan Peranan MKDKI dalam Yurisprudensi
Kolom

Inkonsistensi Kedudukan dan Peranan MKDKI dalam Yurisprudensi

Terkait hal ini ada dua rekomendasi yang dapat dijalankan agar terciptanya kepastian hukum.

Bacaan 6 Menit
Inkonsistensi Kedudukan dan Peranan MKDKI dalam Yurisprudensi
Hukumonline

Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di antaranya menyatakan bahwa pengaduan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke Pengadilan. Secara harfiah, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam sengketa medis yang terjadi antara pasien dengan dokter, pasien dapat mengadukannya kepada MKDKI dan sekaligus mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Namun, dalam implementasinya, ketentuan tersebut ditafsirkan dan diterapkan secara berbeda-beda dalam berbagai yurisprudensi, yaitu:

  1. Yurisprudensi yang mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan MKDKI terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di Pengadilan;
  2. Yurisprudensi yang tidak mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan MKDKI terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di Pengadilan;
  3. Yurisprudensi yang mempergunakan pemeriksaan dan Keputusan MKDKI sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan.

Profesor Jan Michiel Otto (Directeur Van Vollenhoven Instituut, Faculteit Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden), menyatakan bahwa salah satu prasyarat untuk mewujudkan kepastian hukum adalah hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum. Pendapat ini dipertegas oleh E. Fernando M. Manullang dalam bukunya yang berjudul, “Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum”, di mana dinyatakan bahwa, “Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.”

Baca juga:

Salah satu sengketa medis, diproses oleh Pengadilan Negeri Bekasi melalui Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN Bks. Putusan ini mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan oleh Penggugat (ayah kandung dari almarhum pasien), dan menyatakan Tergugat I (Rumah Sakit) serta Tergugat II (Dokter) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Putusan ini juga menghukum Tergugat I (Rumah Sakit) dan Tergugat II (Dokter) untuk membayar ganti-rugi materil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp.205.500.000 serta biaya perkara sejumlah Rp.406.000.

Namun, di tingkat banding, putusan ini dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan tersebut terlalu cepat diajukan ke Pengadilan Negeri sehingga dikategorikan bersifat prematur. Seharusnya, sengketa medis itu terlebih dahulu diproses oleh MKDKI sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi.

Tags:

Berita Terkait