Insentif Pelaku UMKM dan Potensi Moral Hazard, Sebuah Dilema
Kolom

Insentif Pelaku UMKM dan Potensi Moral Hazard, Sebuah Dilema

Karpet merah dari pemerintah kepada pelaku UMKM perlu pengawasan yang ketat agar tidak menjadi kendaraan untuk praktik kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya.

Bacaan 6 Menit
Nanda Narendra Putra. Foto: Istimewa
Nanda Narendra Putra. Foto: Istimewa

Pemerintah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang memperlihatkan dukungan penuh kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, berbagai insentif—baik pelonggaran maupun kemudahan yang diberikan—kepada UMKM memunculkan potensi risiko hukum atau moral hazard dalam tataran pelaksanaan. Mekanisme untuk menjaga agar fasilitas ‘karpet merah’ bagi pelaku UMKM masih butuh diatur lebih ketat dan komprehensif.

Pelaku UMKM diberikan fasilitas khusus sejak awal pendirian. Salah satunya adalah biaya jasa hukum untuk pembayaran fee notaris yang lebih murah dibandingkan bukan PT UMKM (sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2018 tentang Biaya Jasa Hukum untuk Pendirian Perseroan Terbatas bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Selain itu, masih ada fasilitas dan insentif lainnya yang diberikan pemerintah, antara lain: 1) kemudahan mendirikan PT (dapat didirikan 1 orang, keringanan biaya pendirian, cukup membuat surat pernyataan pendirian yang didaftarkan secara elektronik); 2) dikecualikan dari ketentuan upah minimum (upah ditetapkan atas dasar kesepakatan pengusaha dan pekerja, minimal 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat dan 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi); 3) penetapan besaran hak pekerja yang di-PHK (Besaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan/atau uang pisah pada UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja) dan 4) pengecualian dari objek Pajak Penghasilan (PPh) (orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil dengan kekayaan bersih maksimal Rp 500 juta atau peredaran usaha setahun Rp25 miliar).

Di samping fasilitas dan insentif di atas, pihak lain yang melakukan kerja sama atau kemitraan dengan pelaku UMKM juga turut mendapatkan fasilitas. Sebagai contoh merujuk ketentuan Pasal 66 ayat (2) Peraturan BKPM Nomor 4 Tahun 2021, bentuk fasilitas dan insetif terhadap pelaku usaha yang bermitra dengan pelaku UMKM ialah pembebasan bea masuk atas impor, pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu, pengurangan pajak penghasilan badan (termasuk di bidang usaha tertentu dan/atau daerah pada KEK), dan sebagainya.

Baca juga:

Namun perlu dicatat, mayoritas pelaku UMKM di Indonesia adalah pelaku usaha informal atau dengan kata lain entitas usahanya belum berstatus badan hukum. Tata Kelola usaha kebanyakan dijalankan secara tradisional—bahkan terkait dengan pencatatan keuangannya biasanya dilakukan secara sederhana—dengan pengelolaan minim pemanfaatan teknologi. Kondisi ini membuat misi pemerintah untuk menjadikan UMKM sebagai penopang perekonomian masih dihadapkan pada tantangan yang luar biasa.

Kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar lebih masif mendorong pelaku UMKM informal menjadi entitas usaha formal dengan status badan hukum. Upaya ini juga sejalan dengan langkah pemerintah membangun basis data nasional UMKM. Adanya basis data akan menjadi dasar dalam perumusan dan penerbitan kebijakan untuk memastikan kelangsungan pelaku UMKM. Upaya membangun basis data pelaku UMKM saat ini masih berlangsung yang dikoordinatori oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Keberadaan basis data pelaku UMKM sangat krusial dan penting terlebih lagi sejak perluasan kriteria UMKM dalam UU Nomor 6 Tahun 2023. UMKM kini tidak hanya berdasarkan dua kriteria berupa ‘modal usaha’ dan ‘hasil penjualan tahunan’ sehingga jumlahnya sangat mungkin akan bertambah secara signifikan.

Berkaitan dengan potensi moral hazard reformulasi kriteria usaha UMKM, ‘karpet merah’ bagi para pelaku UMKM mesti dipastikan pengawasannya. Fokus utamanya berkenaan dengan fasilitas keuangan seperti kredit atau hibah—baik yang bersumber dari APBN, APBD—hingga pengalokasian dana dari BUMN. Temuan Bappenas tahun 2020, ketika melakukan evaluasi terhadap program UMKM, mencatat Kementerian/Lembaga (K/L) banyak memberikan modal ke pelaku UMKM yang cenderung menimbulkan moral hazard. Modal itu tidak harus dikembalikan dan bisa digunakan untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan usahanya. Hal ini tentu saja berkaitan dengan akuntabilitas dari penggunaan atau pengalokasian anggaran negara. Alih-alih diberikan untuk mendukung dan memacu pelaku UMKM justru pada praktiknya tidak tepat sasaran.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait