Kajian Yuridis Kepailitan AJMI
Kolom

Kajian Yuridis Kepailitan AJMI

"Satius est petere fonts quam sectari rivulos" (It is better to seek the source than to follow the streamlets)

Bacaan 2 Menit
Kajian Yuridis Kepailitan AJMI
Hukumonline

Berbagai analisa baik dari segi yuridis maupun ekonomi telah dikemukakan oleh sejumlah pihak terhadap persengketaan Dharmala dan Manulife. Namun dalam kesempatan ini, akan dicoba untuk mengkaji permasalahan tersebut dengan tidak menempatkan penafsiran atau interpretasi hukum sebagai pedoman utama. Melainkan, dengan mengedepankan peraturan-peraturan hukum yang seharusnya dijadikan sebagai sumber utama dibandingkan dengan logika dan interpretasi hukum yang cenderung bersifat subjektif dan sesungguhnya hanyalah merupakan bagian-bagian kecil (streamlets) dari sumber utama atau peraturan-peraturan hukum tersebut.

Harus diakui bahwa kemelut panjang antara Dharmala dan Manulife hingga kini untuk sementara di dalam negeri dimenangkan oleh Dharmala dengan dipailitkannya PT Asuransi Jiwa Manilife Indonesia (AJMI) oleh Pengadilan Niaga  pada 13 Juni 2002 dan ditahannya Wakil Presiden Direktur AJMI, Adi Purnomo, oleh pihak kepolisian beberapa waktu yang lalu. Namun demikian, dalam kesempatan ini penulis tidak bermaksud untuk menggabungkan diri dengan salah satu kubu yang bersengketa. Kajian ini lebih menyorot segi yuridis atas perkara kepailitan AJMI tersebut.

Pengertian utang menurut Majelis Hakim, DSS, AJMI

Majelis hakim yang diketuai oleh Hasan Basri menyatakan bahwa Akta Perjanjian Usaha Patungan antara AJMI dan DSS yang dibuat pada 10 Juni 1988 adalah sah, sehingga AJMI masih memiliki kewajiban membayar dividen pada DSS. Pertimbangan hukum ini menunjukkan tentang pengertian utang versi majelis hakim niaga yang mengadili perkara tersebut. Yaitu, dengan tidak dilaksanakannya kewajiban AJMI untuk memenuhi prestasinya kepada DSS, AJMI disimpulkan mempunyai utang kepada DSS (quod non). Pengertian utang seperti ini tentunya sejalan dengan pengertian utang versi DSS, sehingga Majelis Hakim mengeluarkan putusan yang memailitkan AJMI.

Di sisi lain, AJMI berpendirian untuk tidak membayarkan dividen kepada DSS karena dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) AJMI tahun 2000, sudah disepakati dan diputuskan oleh pemegang saham AJMI (termasuk DSS) bahwa dividen tidak dibagikan karena tingkat kecukupan modal (risk based capital) belum mencukupi. Artinya, AJMI berpendapat bahwa AJMI tidak mempunyai utang yang harus dibayarkan kepada DSS (quod non), sehingga tidak tepat jika AJMI digugat pailit oleh Kurator DSS dan tidak selayaknya Pengadilan Niaga mengeluarkan putusan yang memailitkan AJMI.

Berbeda AJMI, mantan Kurator DSS, Lucas, S.H. CN menyatakan bahwa dividen AJMI yang tidak dibagi bisa menjadi piutang DSS. Sebab sebagai pemegang saham minoritas sebelumnya, DSS menandatangani persetujuan dengan pemegang saham lain yang isinya apabila AJMI dalam perjalanannya mempunyai keuntungan minimal Rp100 juta, minimal 30% dari keuntungan tersebut akan dibagikan kepada pemegang saham.

"Jadi begitu dividen tidak dibagikan, DSS bisa menjadikan dividen yang tidak dibagikan itu sebagai piutang dan memailitkan AJMI. Apalagi AJMI pun memiliki utang yang jatuh tempo lainnya" kata Lucas (Kompas, 19 Juni). Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pengertian utang versi Lucas S.H. CN adalah ketika AJMI tidak melakukan prestasinya untuk membayarkan dividen kepada DSS (quod non), maka pada saat itu AJMI dikategorikan sebagai yang berutang (debitur) dan secara mutatis mutandis DSS mengambil posisi sebagai yang berpiutang (kreditur).

Pengertian utang menurut hukum

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan (Undang-Undang No. 4 Tahun 1998), debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan Niaga yang berwenang. Selanjutnya dalam bagian penjelasan, tidak dijelaskan tentang pengertian utang yang dimaksudkan dalam pasal dan ayat tersebut.

Tags: