Kartu Kuning Untuk Mahkamah (Hakim) Konstitusi
Kolom

Kartu Kuning Untuk Mahkamah (Hakim) Konstitusi

Dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi sepatutnya ditindaklanjuti oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dengan atau tanpa adanya laporan dari masyarakat.

Bacaan 5 Menit

Kedua, sikap MK yang menerima kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dengan konstruksi pertimbangan hukum sulit diterima logika hukum acara pengujian undang-undang. Pemohon perkara No. 90/PUU-XXI/2023 berstatus mahasiswa berusia 23 tahun yang memiliki cita-cita untuk menjadi presiden. Pemohon merasa syarat batasan usia menjadi capres/cawapres yang diatur dalam UU Pemilu merugikan hak konstitusionalnya. Salah satu dalihnya ialah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang terkait dengan persamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan. Ia memohon penafsiran syarat usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu diperluas maknanya dengan “berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”.

Padahal, yurisprudensi Putusan MK No.006/PUU-III/2005 dan No.11/PUU-V/2007 telah menjelaskan kerugian konstitusional haruslah dapat ditunjukkan secara nyata dan aktual telah terjadi, atau setidaknya dapat dipastikan potensi terjadinya kerugian konstitusional tersebut menurut penalaran yang wajar. Hingga akhirnya Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dijatuhkan, dalam penalaran yang wajar pula dapat diketahui Pemohon dipastikan tidak dapat menjadi capres atau cawapres. Ia belum berusia 40 tahun dan tidak sedang menjabat atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Kerugian konstitusional dalam konteks perkara ini tidak dapat dipastikan terjadinya bahkan tidak pernah terjadi!

Beda Syarat Usia dan Pengalaman

MK memberikan pertimbangan dengan dalih pemaknaan syarat usia tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman. MK dengan mudahnya mengambil alih dalil Pemohon secara utuh tanpa mempertimbangkan cacatnya konstruksi hukum yang didalilkan Pemohon. Putusan No.90/PUU-XXI/2023 secara berlebihan memberikan norma yang bersifat kualitatif (syarat pengalaman) dalam penafsiran terhadap hal yang sifatnya kuantitatif (syarat batasan usia).

Penalaran umum dengan mudah dapat memahami bahwa hal yang bersifat kuantitatif dan bersifat kualitatif merupakan hal yang berbeda. Sepatutnya MK melihat konstruksi hukum lain yang ada dan sedang berlaku. Misalnya, Pasal 15 ayat (2) UU MK (perubahan terakhir dengan UU No.7/2020) mengatur syarat menjadi hakim konstitusi dalam poin yang berbeda. Syarat usia paling rendah 55 tahun (huruf d) dan terkait pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun (huruf h). Contoh lain ada dalam Pasal 7 UU Mahkamah Agung (perubahan terakhir dengan UU No.3/2009). Syarat menjadi hakim agung adalah berusia minimal 45 tahun (huruf a angka 4) dan syarat pengalaman menjadi hakim atau pengalaman kerja bidang hukum bagi calon nonkarier selama 20 tahun (huruf a angka 6 dan huruf b angka 2).

Kedua undang-undang tersebut membedakan pengaturan antara syarat usia yang bersifat nominal/kuantitatif dengan syarat pengalaman kerja yang bersifat kualitatif. Konstruksi yang sama dengan mudah ditemukan di pelbagai undang-undang yang mengatur syarat dan tata cara pengisian jabatan tertentu.

Pelanggaran Kode Etik dan Kredibilitas Putusan

Hal lain yang sangat mengganggu publik adalah jelasnya indikasi pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi. Pembacaan Putusan No.90/PUU-XXI/2023 secara langsung yang bisa disimak lewat kanal elektronik menyiarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh dua orang hakim konstitusi (hlm.95 dst. dan hlm.113 dst.). Isinya membuka dinamika yang terjadi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Padahal, RPH harusnya dilakukan secara tertutup (Peraturan MK No.1/2022) dan bersifat rahasia (UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Peraturan Kode Etik MK secara spesifik melarang hakim konstitusi memberikan komentar terbuka atas pendapat teman sejawat. Namun, publik justru menjadi tahu dinamika macam apa yang terjadi dalam pengambilan putusan.

Beberapa hal yang terungkap antara lain dinamika pergeseran pendirian MK. Beberapa perkara lainnya yang dibacakan bersama secara konsisten menerapkan open legal policy—sesuai dengan sikap selama ini—tapi kemudian berubah sikap dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023. Hal lainnya adalah perubahan sikap itu karena andil Ketua MK yang dalam perkara No.29/PUU-XII/2023, No.51/PUU-XXI/2023, dan No.55/PUU-XXI/2023 tidak pernah menghadiri RPH. Namun, Ketua MK seketika hadir dalam RPH Perkara No.90/PUU-XXI/2023.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait