Ke Mana Arah Hunian Berimbang Pasca UU Cipta Kerja
Kolom

Ke Mana Arah Hunian Berimbang Pasca UU Cipta Kerja

Langkah penataan hunian berimbang dapat dikatakan belum selesai. Masih terdapat pekerjaan yang harus diselesaikan pemerintah.

Bacaan 7 Menit
M Ilham Hermawan. Foto: Istimewa
M Ilham Hermawan. Foto: Istimewa

Hunian berimbang merupakan konsep hukum yang terdapat di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Konsep yang memaksa pelaku pembangunan untuk membangun rumah sederhana atau rumah susun umum bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Konsep yang merekayasa pemenuhan rumah bagi MBR melalui peran swasta dalam hal ini pelaku pembangunan. Konsep yang dapat dikatakan sebagai konsep yang menarik.

Jika ada yang menyatakan konsep ini khas Indonesia, tentu tidaklah salah. Sepanjang penelusuran Penulis konsep ini tidak terdapat pada negara-negara lainnya. Negara-negara lain lebih menekankan peran negara yakni pemenuhan tempat tinggal dengan menggunakan konsep public housing. Maka, tidak pula salah jika pada awal tulisan ini dinyatakan bahwa konsep hunian berimbang merupakan konsep yang “menarik.” Tapi sayang, konsep yang menarik ini tidak dapat berjalan. Sejak dua Undang-Undang tersebut diundangkan tepatnya pada tahun 2011 sampai sekarang konsep hunian berimbang belum belum dapat diterapkan dengan baik.

Apa permasalahannya? Kalau dikatakan dua Undang-Undang tersebut tidak mengatur secara tegas, tidaklah tepat. Keduanya telah mengatur secara tegas bahkan Undang-Undang Rumah Susun memberikan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp20 miliar. Jadi apa permasalahannya? Dalil yang dibangun oleh pelaku pembangunan yang terus dinyatakan secara berulang-ulang adalah terbatasnya tanah, sulitnya memperoleh tanah dan mahalnya harga tanah.

Jawaban klasik yang selalu dicoba dihadirkan dalam penyelenggaraan perumahan. Sebenarnya permasalahannya adanya benturan antara hak bertempat tinggal bagi MBR dengan nilai rumah sebagai komoditas -baca barang dagangan utama-. Adanya nilai komersial yang melekat pada rumah bahkan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama, dapat bertahan selama beberapa dekade dan berabad-abad. Mengakibatkan predikat komoditas pada rumah tidak mudah untuk dilepaskan. Akhirnya hak tempat tinggal sering tergeser bahkan dapat saja diabaikan.

Hal ini tampak pada fakta ekonomis, yakni membangun rumah mewah dan menengah jauh lebih memberikan keuntungan daripada membangun rumah sederhana. Dengan harga tanah yang sama jika di bangun rumah mewah dan sederhana akan lebih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada pada membangun rumah sederhana. Begitu pula dengan membangun rumah rumah susun komersial lebih memiliki nilai komersial yang tinggi dibandingkan rumah susun umum untuk MBR.

Jika dilihat lebih jauh, lokasi pembangunan juga menjadi sebab utama, jika rumah sederhana berada pada satu lokasi dengan rumah mewah dan menengah akan memberikan dampak sosial yang berpengaruh kepada penjualan rumah. Begitu pula pada rumah susun, jika rumah susun umum berada satu lokasi dengan rumah susun komersial juga akan memberikan dampak sosial yang berpengaruh kepada penjualan rumah. Dampak yang dikhawatirkan mengakibatkan nilai komersial menjadi berkurang dan mempengaruhi rendahnya penjualan rumah mewah atau rumah susun komersial.

Permasalahan tersebutlah yang di coba dijawab melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dicoba dirumuskan konsep-konsep baru yang tentunya diharapkan memberikan arah baru yang lebih baik terhadap konsep hunian berimbang. Apakah arah baru tersebut dapat merubah nasib hunian berimbang?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait