Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Butuh Diatur Undang-Undang Baru
Kolom

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Butuh Diatur Undang-Undang Baru

Banyak perkembangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang belum diakomodasi oleh UU Monopoli dan Persaingan Usaha. Banyak grey area yang harus cepat ditanggulangi dan diatur.

Kekosongan Norma

Penulis melihat bahwa UU Monopoli dan Persaingan Usaha punya keterbatasan untuk merespon ilustrasi kasus di atas. Isinya hanya mengatur tindakan yang berdampak secara langsung terhadap pelaku usaha lainnya dan ekonomi Indonesia. Belum ada pengaturan atas tindakan yang melindungi kepentingan pelaku usaha dari tindakan pembeli atau konsumen. Belum ada juga perlindungan atas keadaan yang tidak berdampak secara langsung meski terindikasi sebagai persaingan usaha tidak sehat. UU Monopoli dan Persaingan Usaha lebih banyak mengatur terkait kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pemeran utamanya. Belum ada pengaturan atas keadaan pelaku usaha sebagai korban dari pembeli.

Sebagai contoh, Pasal 15 UU Monopoli dan Persaingan Usaha menga melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dalam skema pasokan dan harga tertentu. Apabila pelaku usaha melanggarnya, ada ancaman pidana denda atau kurungan pengganti denda berdasarkan Pasal 48 ayat (2) UU Monopoli dan Persaingan Usaha.

Pada contoh kasus di atas, hubungan PT ABC sebagai penjual dengan Perusahaan D sebagai pembeli berisi sejumlah masalah. Perusahaan D sebagai pembeli telah mengatur PT ABC hanya boleh menjual barang produksinya hanya kepadanya. Lebih dari itu, harganya pun disesuaikan oleh Perusahaan D di dalam perjanjian. Hal ini dapat terjadi karena kedudukan Perusahaan D sebagai induk perusahaan mengikat PT ABC tunduk pada keputusannya. Berdasarkan kasus tersebut, ada indikasi jelas adanya persaingan usaha tidak sehat yang bisa merugikan pihak lain. Ironisnya, indikasi persaingan usaha yang tidak sehat seperti ini belum diatur secara sempurna oleh UU Monopoli dan Persaingan Usaha.

UU Monopoli dan Persaingan Usaha yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan terkini bisa menyebabkan efek domino bagi peraturan dan kegiatan usaha di bidang lain. Mari ambil contoh pada UU Migas. Isinya mengatur badan usaha kegiatan Usaha Hulu bertumpu pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan badan usaha kegiatan Usaha Hilir bertumpu pada kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, serta niaga. Pasal 10 UU Migas, menekankan bahwa badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan kegiatan Usaha Hulu. Namun, penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan, “… dalam hal Badan Usaha melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir secara bersamaan harus membentuk badan hukum yang terpisah, antara lain secara Holding Company.” Pengaturan seperti ini memberikan celah untuk melakukan praktik monopoli hingga persaingan usaha tidak sehat secara tidak langsung. Hal ini pun sebetulnya bertentangan dengan Pasal 3 huruf b UU Migas.

Faktanya, memang ada pengaturan yang memperbolehkan kegiatan usaha hulu dan hilir secara bersamaan melalui bentuk holding company. Terjadi praktik pemusatan pengendalian kegiatan usaha hulu dan hilir yang secara tidak langsung terindikasi sebagai praktik monopoli. Jelas bahwa sebetulnya bentuk persaingan usaha tidak sehat atau monopoli tidaklah terbatas dari perjanjian eksklusif seperti diatur oleh UU Monopoli dan Persaingan Usaha. Persaingan usaha tidak sehat atau monopoli dapat timbul dari kegiatan antara induk dan anak perusahaan. Bisa juga melalui kegiatan-kegiatan lain yang secara tidak langsung terindikasi sebagai kegiatan persaingan usaha tidak sehat atau praktik monopoli.

Persoalan mengenai grey area ini harus cepat ditanggulangi dan diatur. Jika tidak, maka akan semakin banyak perusahaan—baik di dalam maupun luar negeri—yang membuat anak perusahaan dalam rangka mengakali hukum persaingan usaha dan hukum perusahaan di Indonesia. Terlebih lagi, kehadiran undang-undang maupun kegiatan usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat akan semakin marak. Tentu saja dampaknya buruk bagi perekonomian Indonesia. Hal ini akan sangat merugikan banyak pihak.

*)I Gusti Putu Gandhi N., S.H. dan Viyoneta Purnama, S.H, keduanya advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait