Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Butuh Diatur Undang-Undang Baru
Kolom

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Butuh Diatur Undang-Undang Baru

Banyak perkembangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang belum diakomodasi oleh UU Monopoli dan Persaingan Usaha. Banyak grey area yang harus cepat ditanggulangi dan diatur.

Pasal 3 huruf b UU Migas secara jelas menyebutkan salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi adalah mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Lebih lanjut, Pasal 10 UU Migas menekankan bahwa badan usaha yang melakukan kegiatan usaha hilir tidak dapat melakukan kegiatan usaha hulu,(1)Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2)Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”

Tahun ini UU Monopoli dan Persaingan Usaha ini telah berusia 23 tahun dari tanggal berlakunya (5 Maret 2000). Selama itu telah banyak perkembangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang belum diakomodasi oleh UU Monopoli dan Persaingan Usaha. Tidak diperbaharuinya UU Monopoli dan Persaingan Usaha membuat tujuannya semakin sulit terpenuhi.

Mari mengingat sejenak konsep law is a tool of social engineering yang ditekankan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan merujuk gagasan Roscoe Pound dalam bukunya berjudul Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.”

Konsep itu menjelaskan bahwa makna hukum sebagai kontrol sosial harus mengoordinasi pembaharuan di masyarakat. Tidak diperbaharuinya UU Monopoli dan Persaingan Usaha mencerminkan bahwa konsep law is a tool of social engineering tidak terlaksana dengan baik.

Contoh Kasus

PT ABC yang berdomisili dan tunduk pada hukum negara Indonesia merupakan anak Perusahaan D yang berdomisili dan tunduk pada hukum negara Singapura. Perusahaan D ini adalah pemegang saham mayoritas sebesar 99% dari PT ABC. Lalu, PT ABC digugat pailit oleh para kreditur lainnya di luar Perusahaan D hingga akhirnya dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Di tengah proses persidangan, terkuak bahwa PT ABC memiliki utang kepada Perusahaan D. Tercatat utang piutang atas uang muka pembayaran alat yang dibeli PT ABC kepada pihak ketiga. Selain itu, Perusahaan D ternyata juga salah satu pembeli produk PT ABC. Bisa disimpulkan bahwa Perusahaan D merangkap sebagai kreditur dan debitur PT ABC.

Namun, kedudukan Perusahaan D sebagai kreditur PT ABC ditolak oleh kurator. Alasannya karena Perusahaan D dianggap menyebabkan PT ABC mengalami pailit. Utang PT ABC kepada Perusahaan D juga dianggap sebagai penyertaan modal. Alasannya karena uang tersebut digunakan PT ABC untuk memproduksi barang yang diatur hanya boleh dijual kepada Perusahaan D. Harga jual pun telah diatur oleh Perusahaan D sebagai induk perusahaan. Kurator juga menyatakan jika Perusahaan D dianggap sebagai kreditur, maka PT ABC tidak dapat membayarkan utangnya kepada kreditur lain. Alasannya karena valuasi aset dari PT ABC lebih kecil daripada utangnya kepada Perusahaan D.

Tags:

Berita Terkait