Perlu Penegasan Norma Ultimum Remedium Soal Pengenaan Sanksi di Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Berita

Perlu Penegasan Norma Ultimum Remedium Soal Pengenaan Sanksi di Aturan Turunan UU Cipta Kerja

Terdapat lima kluster dalam penerapan sanksi di aturan turunan UU Cipta Kerja.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit

Jika dibandingkan dengan tujuan awal pembentukan UU ciptaker (Pasal 4) yang mencerminkan 9 kluster bersifat regulatif dan 1 kluster bersifat sanksi, maka Romli menilai hal tersebut belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan UU Ciptaker, yakni mengedepankan sanksi administrasi atau ultimum remedium. Namun terlepas dari hal tersebut, Romli menyebut perlu adanya penegasan sanksi mana yang harus didahulukan, apakah sanksi administrasi atau sanksi pidana. Jika tidak, hal tersebut akan berpengaruh kepada hak subjektif penyidik jika terjadi pelanggaran.

“Saya melihat bahwa sanksi administrasi dikedepankan, kalau Bahasa pidana ultimum remedium. Tapi dalam UU ini tidak jelas sanksi mana yang didahulukan. Yang melaksanakan ini paling tidak Polsus, misal Polsus kehutanan atau PPNS,” katanya.

Dia mencontohkan di UU Tipikor ada norma yang menyebutkan bahwa pemeriksaan, penuntutan dan penyidikan perkara tipikor adalah perkara yang didahulukan, dan itu jelas dalam norma ultimum remedium. “Dan semoga bisa diberi tambahan norma seperti itu. Tapi kalau tidak di normakan seperti ini, tentu hak subjektif dari penyidik menjadi masalah karena tidak ada perintah seperti itu. Ini yang disebut paham positivism, segalanya harus pasti,” katanya.

Romli juga tidak melihat apakah sanksi pidana dan administrasi yang didahukukan dan kalimat-kalimat dan/atau dalam pasal sanksi apakah mau di komulatif atau alternatif. “Ini harus hati-hati dalam perumusannya,” kata Romli.

Kemudian, Romli menyoroti terkait sanksi stelsel minimum umum. Jika sanksi dikenakan paling lama tiga tahun, maka paling singkat adalah satu hari sehingga penjatuhan vonis menjadi diskresi dan kewenangan hakim. Romli mengingatkan bahwa “implementasi pasal” semacam ini tidak efektif jika tidak dibarengi dengan sosialisasi antar kementerian dengan lembaga penegak hukum baik penyidik Polri, kejaksaan dan para hakim.

“Jadi jangan sampai maksud lurus ke depan sesuai ide semula UU ini kemudian ke depan jadi berbelok-belok-belok karena ketidakpahaman di lapangan. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana memformulasi ultimum remedium dalam PP, memang dalam rangka ini sanksi itu kalau lihat dari normanya harus jelas, dapat dilaksanakan dan juga dampak. Jangan membuka peluang norma jadi multitafsir,” imbuhnya.

Penerapan azas ultimum remedium dalam aturan turunan UU Ciptaker, lanjutnya, merupakan sanksi yang cukup bijak, di mana pemerintah berupaya untuk menjaga keseimbangan dengan tidak menghukum dan mengedepakan retribusi dan restoratif. Dan hal ini harus diikuti dengan kontrol yang ketat sehingga tujuan tercapai. Namun pada faktanya, fungsi kontrol terhadap pelaksanaan UU di Indonesia masih lemah. Dalam konteks ini, Romli mengingatkan pemerintah untuk melakukan pengawasan secara ketat, beriringan dan berurutan karena menyangkut korporasi-korporasi besar yang memiliki strategi dan memahami hukum bisnis.

Tags:

Berita Terkait