101 Tantangan Peradilan di Mata President Hoge Raad Belanda
After Office

101 Tantangan Peradilan di Mata President Hoge Raad Belanda

Mewujudkan peradilan yang baik harus dimulai dari membangun Mahkamah Agung yang baik. Terutama dalam kualitas putusan yang konsisten.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Keberadaan hak-hak fundamental, seperti hak asasi manusia, menjadi hal yang penting dalam rangka melindungi individu. Khususnya jika berhadapan dengan pemerintah. Kami memilikinya di Belanda. Di Eropa, kami memiliki Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yang statusnya lebih tinggi dari produk legislasi negara kami. Jadi, jika undang-undang di Belanda melanggar hak asasi manusia, pengadilan kami harus menerapkan Konvensi tersebut. Itu memberikan perlindungan khusus kepada warga negara.

 

Berarti putusan pengadilan ikut mengoreksi produk hukum parlemen?

Betul sekali. Memang tidak mudah melakukannya, namun kami mengikuti putusan Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) Berdasarkan putusan mereka, jika ada bagian dari produk legislasi nasional yang bertentangan dengan Konvensi Eropa, pengadilan akan menerapkan Konvensi Eropa. Pada sejumlah kasus pada dasarnya isi undang-undang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Hanya saja, jika diterapkan dalam kasus konkret tertentu justru mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Bagaimana sesungguhnya prinsip independensi hakim dalam memutus?

Aspek yang paling penting dari independensi adalah pemisahan kekuasaan dalam negara. Hakim tidak dapat diperintah misalnya oleh Menteri. Pemerintah pun tidak boleh berupaya mempengaruhi putusan pengadilan secara tidak langsung, termasuk dalam perkara politis yang sensitif. Saya pikir persoalan independensi lembaga kekuasaan kehakiman adalah hal yang sangat penting.

 

Bagaimana seharusnya pelaksanaan independensi hakim ini agar tidak membuat hakim yang kurang bertanggung jawab berlindung di balik tameng independensi?

Menurut saya, para hakim bekerja hanya berdasarkan hukum dan bukan pendapat pribadi. Tidak boleh ada hakim yang memilki agenda sendiri yang ingin mereka eksekusi. Mereka harus menempatkan diri untuk melayani hukum. Oleh karena itu, hakim harus mengikuti penafsiran terbaik atas hukum. Undang-undang telah dibentuk dengan proses demokratis.

 

Para hakim harus menerima produk hukum tersebut. Tentu saja dalam banyak kasus, produk legislasi menyisakan ruang penafsiran. Namun hakim yang baik tidak akan memanfaatkannya untuk agenda pribadi. Saat melakukan penafsiran, hakim harus melihat mana yang paling sesuai berdasarkan sistem hukum dan tujuan dari undang-undang. Dengan kata lain, harus membuat putusan yang paling tepat berdasarkan sudut pandang dan prinsip-prinsip di undang-undang yang berlaku serta perjanjiian internasional yang mengikat hukum nasional.

 

Hukum yang berlaku harus menjadi pegangan para hakim, meskipun para politisi menginginkan putusan yang lain. Politisi harus mengubah undang-undang berdasarkan prinsip demokratis jika tidak menyukai hasil kesimpulan hakim berdasarkan undang-undang. Di bawah payung undang-undang, hakim berwenang membuat putusan pada setiap perkara. Saya pikir para hakim harus bersikap teguh, jangan membiarkan diri mereka terpengaruh oleh tekanan sekuat apapun dari masyarakat atau politisi jika tekanan itu bertentangan dengan hukum. Dengan kata lain ini perlu dukungan seluruh pihak terkait dalam melaksanakan independensi hakim. Pelaksanaannya tidak sekadar dengan menuntut para hakim, namun juga dengan dukungan dari berbagai kekuasaan lain dalam negara. Menjadi independen seutuhnya tidak bisa dilaksanakan hanya oleh kekuasaan kehakiman tanpa mendapat dukungan.

 

Apakah sistem kamar juga berlaku di pengadilan yang lebih rendah atau hanya di Mahkamah Agung saja?

Pengadilan tingkat banding memiliki kamar terpisah untuk setiap bidang hukum yaitu kamar pidana dan kamar perdata. Hanya saja mereka tidak melakukan metode forum diskusi tentang perkara atau prinsip-prinsip umum dalam memutus perkara.

 

Apakah putusan pengadilan yang lebih rendah terikat dengan putusan dari tiap kamar di Mahkamah Agung?

Tepat sekali.

 

Namun bukankah proses yang diperiksa berbeda antara peradilan di Mahkamah Agung dengan pengadilan yang lebih rendah?

Ya, karena sebagian besar kerja mereka berkaitan dengan fakta perkara hukum konkret. Perkara konkret memang tidak perlu didiskusikan seperti pada kamar di Mahkamah Agung. Pada pengadilan di bawah Mahkamah Agung Belanda, para hakim mendiskusikan pertanyaan umum yang berkembang. Mereka saling bertukar pengalaman dan pandangan untuk menuju satu penafsiran bersama. Namun hasilnya tidak berlaku untuk jangka panjang.

 

Pada akhirnya, Mahkamah Agung yang paling berwenang dalam membuat penafsiran. Sehingga kesimpulan para hakim di pengadilan di bawah Mahkamah Agung dalam menafsirkan undang-undang tidak mengikat bagi Mahkamah Agung. Itu sebabnya menjadi kurang berarti bagi pengadilan tingkat pertama dan banding untuk menyeragamkan penafsiran. Mungkin saja dalam beberapa bulan akan ada putusan yang berbeda dari Mahkamah Agung.

 

Baca:

 

Apakah ada dampak tersendiri jika hakim tidak mempertimbangkan putusan sebelumnya untuk perkara serupa?

Seperti yang sudah saya sebutkan, jika pengadilan tingkat pertama dan banding tidak mengikuti penafsiran Mahkamah Agung dalam membuat putusan, lalu para pihak berperkara menyadari konsistensi Mahkamah Agung, mereka akan melihat peluang besar bahwa putusan bisa dibatalkan jika diajukan ke Mahkamah Agung. Begitulah praktik di Belanda dan banyak negara dengan Mahkamah Agung yang konsisten dalam memeriksa penerapan hukum.

 

Apakah semua putusan hakim sebelumnya bisa menjadi acuan yurisprudensi?

Di negara kami, ketika Mahkamah Agung memutus dengan menggunakan suatu penafsiran terhadap undang-undang, semua orang tahu bahwa Mahkamah Agung akan terus menggunakannya pada perkara lainnya. Sehingga tidak ada pembedaan antara penafsiran biasa dengan penafsiran yang menjadi rujukan dengan sebutan yurisprudensi. Begitu Mahkamah Agung memilih penafsiran, putusannya bisa dikatakan adalah yurisprudensi Mahkamah Agung. Kami tidak memiliki tim khusus yang memilah penafsiran mana yang bisa dikelompokkan sebagai yurisprudensi atau tidak.

 

Referensi apa saja yang dipertimbangkan hakim untuk mengambil putusan?

Kami menggunakan berbagai macam acuan untuk keperluan penafsiran hukum tanpa terpaku pada satu metode saja. Kami tidak sekadar membaca susunan kata-kata dalam undang-undang. Tentu saja kata-kata yang tertera sangat penting, tetapi kami juga menelusuri sejarah pembentukannya, kecenderungan para legislator, dan sistem hukum keseluruhan.

 

Kami juga mengacu pada putusan sebelumnya yang telah kami buat. Tentu saja kami melakukannya sebagai upaya untuk menjaga konsistensi putusan. Kami juga membaca berbagai literatur hukum. Berbagai literatur itu menjadi sumber inspirasi yang membantu kami. Kami tidak bangun di pagi hari dan berilusi bahwa kami tahu segalanya. Kami pun perlu terus belajar. Itu sebabnya kami terus membaca sebanyak mungkin literatur hukum yang membantu terus berkembang.

 

Selain itu ada juga pengadilan-pengadilan internasional. Kami terikat dengan segala putusan Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) dan Pengadilan Eropa (European Court of Justice) sehingga harus mengikutinya. Kadang kami juga melihat ke berbagai produk legislasi atau putusan di negara-negara lain. Misalnya saat kami dihadapkan dengan dengan perkara yang benar-benar baru dan tidak ada panduan dari hukum nasional, kami bersikap layaknya pionir yang mencari inspirasi bagaimana perkara semacam ini diselesaikan di luar sana. Kami tidak terikat dengan legislasi atau Mahkamah Agung asing, namun sangat bermanfaat untuk mendapatkan gagasan tentang bagaimana perkara diatasi. Lalu pada dasar putusan kami biasanya menyebutkan argumentasi yang digunakan, misalnya mengacu pada sejarah hukum. Tetapi jika ternyata berseberangan dengan kata-kata yang tertera pada norma hukum, tidak ada hubungan yang bisa dikaitkan.

 

Putusan kami bergantung perkara yang dihadapi, seberapa jelas norma hukum yang tertulis atau seberapa jelas sejarah hukum yang ada, sehingga kami harus seimbang mempertimbangkannya pada tiap perkara. Cara itu dapat dibandingkan dengan metode penafsiran yang mengacu Pasal 31 Vienna Convention on The Law of Treaties. Pasal 31 menyebutkan sejumlah faktor yang relevan dalam menafsirkan perjanjian internasional. Ada kesamaan mendasar bahwa faktor-faktor itu tidak dapat dipisahkan, pendekatan dalam penafsiran harus secara holistik. Dalam putusan perkara Golder v. United Kingdom tahun 1975, Pengadilan HAM Eropa menegaskan hal itu.

 

Apakah ada panduan khusus untuk hakim di Belanda dalam mempertimbangkan pihak lain (doktrin, akademisi dll)?

Tidak ada, pada dasarnya para hakim meyakini dirinya sebagai ahli dalam memutus perkara hukum. Mungkin terdengar arogan, tapi kami adalah yang paling mengerti hukum. Menjadi urusan kami soal bagaimana seharusnya hukum ditafsirkan. Kami berusaha mencari inspirasi dari berbagai sumber mana saja. Termasuk dari literatur para ahli hukum lainnya.

 

Penulis atau buku apa saja mungkin memberi kami inspirasi. Oleh karena itu, tidak lazim bagi para pihak di Belanda untuk melibatkan pendapat ahli hukum atau profesor hukum pada proses persidangan. Terkadang mereka melakukannya tapi bagi kami tidak ada maknanya. Tentu kami membaca pendapatnya, mungkin saja kami bisa diyakinkan oleh argumentasinya. Hanya saja Anda tidak bisa memastikan bahwa pendapat para profesor hukum akan lebih meyakinkan kami ketimbang pendapat lainnya dari sekadar yang bergelar doktor hukum atau bahkan belum doktor. Gelar-gelar itu tidak relevan bagi kami.

 

Pendapat mengenai saksi ahli bidang hukum, apakah itu dibenarkan di Belanda?

Hal itu sangat jarang terjadi di Belanda. Satu-satunya yang mungkin terjadi seperti itu adalah untuk perkara hukum perdata internasional. Terkadang hukum asing dapat berlaku berdasarkan hukum perdata internasional. Misalnya perceraian di antara warga negara Belanda dengan pasangannya yang warga negara lain. Pada perkara itu, perceraian mereka harus diputus berdasarkan hukum asing.

 

Oleh karena itu, ada gunanya bagi hakim untuk mempertimbangkan pendapat ahli tentang hukum asing tersebut. Tetapi jika mengenai hukum kami, kami memutusnya berdasarkan keahlian kami. Saya bukan ahli mengenai bagaimana sistem hukum di Indonesia dijalankan, hanya saja saya melihat ada risiko jika para pihak menghadirkan pendapat ahli hukum. Mereka hanya akan membawa pendapat ahli hukum yang mendukung keinginannya, tentu saja hakim harus sangat kritis atas pendapat-pendapat itu.

 

Apa peran masyarakat hukum untuk berpartisipasi dalam reformasi hukum?

Menurut saya masyarakat dan ilmuwan hukum memiliki peran serius untuk ikut membangun hukum dengan baik. Pengalaman di Belanda, ketika putusan dibuat oleh Mahkamah Agung maka langsung dibuka aksesnya lewat Internet. Lalu berbagai komentar berdasarkan literatur hukum hukum segera bermunculan dari beragam ahli hukum tentang isi putusan.

 

Para hakim agung akan menyimaknya dan mempertimbangkannya. Ini semacam cermin bagi para hakim. Berdasarkan tanggapan itu kami mengetahui apakah putusan-putusan kami telah cukup jelas atau perlu dibuat lebih jelas lagi pada putusan selanjutnya. Saya pikir ini cara yang bagus bagi pengadilan untuk memiliki cermin tentang bagaimana putusan mereka disusun dan dibuat. Bahkan ini juga memberi efek preventif bagi kami. Ketika kami membuat putusan, kami saling bertanya satu sama lain, ‘‘bagaimana reaksi kalangan akademisi?’’. Kami memang tidak terikat dengan pandangan mereka, namun sangat bermanfaat jika mereka tetap kritis dan ikut mengawasi kami.

 

Apakah ada persoalan bahasa hukum dalam berbagai putusan pengadilan di Belanda?

Saya sangat senang Anda menanyakan hal ini. Di masa lalu, termasuk di Belanda, telah berlaku tradisi bahwa bahasa hukum jauh lebih rumit ketimbang bentuk bahasa lainnya. Masih tercium aroma teks hukum abad ke-19 di beberapa tempat dan saya harus mengakui termasuk pula pada beberapa putusan yang Mahkamah Agung kami buat. Kalimat-kalimat yang panjang dan gaya pengungkapan yang sudah tidak lagi digunakan orang ‘‘normal’’. Saya telah merintis usaha agar hakim menggunakan bahasa yang sederhana. Banyak putusan pengadilan tingkat pertama dan banding di Belanda yang telah menjalankan usaha ini.

 

Kami bahkan membuat penghargaan khusus bagi putusan pengadilan yang paling menerapkan bahasa sederhana. Ada dewan juri yang menilainya dan saya sendiri yang menjadi Ketua Dewan Juri. Siapapun yang merasa ada putusan pengadilan dengan bahasa sederhana dan jelas bisa mengirimkannya pada juri untuk dinilai. Kami sangat senang bahwa ada banyak hakim di lingkungan peradilan kami berusaha menyusun putusan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Selain itu, Mahkamah Agung kami juga memiliki proyek khusus untuk penyusunan kata-kata yang lebih jelas dari setiap putusan. Sebagai tambahan, saya baru saja menyelesaikan penulisan buku yang di dalamnya membahas hal ini dan juga berbagai hal lain tentang Mahkamah Agung. Buku ini akan diterbitkan dalam serial untuk awam.

Tags:

Berita Terkait